Sabtu, 16 Mei 2009

Dengan tekun, Bukan dukun







Musik dan Tari

Dhalang : Kocap kacarita, lambe ngocap mbuka carita
Caritane muda-mudi jaman sekarang
Khususnya muda-mudi yang sudah kelas 3 SMA
Semua bingung persiapan Ujian
Seharusnya belajar, kok malah pacaran
Lebih suka SMS-an daripada baca buku pelajaran
Internet cuma buat chattingan
Sambil nonton film begituan
E..e.. Pancen jamane, jaman edan
Muda-mudi jaman sekarang memang edan
Modele kebarat-baratan
Lha kok sinetron malah dijadikan panutan
Laki-laki pakai anting di kiri dan dikanan
Perempuan jalan-jalan ke mall cuma pakai daleman
Aduh..aduh.. semakin lupa aturan
Jadi tambah nggak karu-karuan
Bumi gonjang-ganjing, atine podo goncang
Padahal sudah dekat waktu Ujian
Sedangkan lulus adalah sebuah tuntutan
Berbagai ancaman dilayangkan
Apa mau dikata, kalau belajar sudah malas-malasan
Akhirnya dukun jadi pelarian
Ooo…

Musik jula-juli

Gareng : Jalan-jalan, mampir Kotamadya. Sudah jam empat, waktunya pulang. Teman-teman apa kabar semuanya?Ayo cepat beri salam kepada saya

Petruk : (berdiri memanggil semua teman-temannya) Teman-teman!

Semua : (berdiri)

Petruk : (memberi komando) beri salam!

Semua : Selamat pagi bos… I’m fine, thank you!

Gareng : makan pisang, kulitnya lupa dikupas. Kalau makan jambu, nggak dikupas ya nggak apa-apa. Kalian pasti sudah mengerjakan tugas. Siapa yang mau mengerjakan tugas saya?

Semua : (diam)

Gareng : (menegaskan) kalau makan jambu, nggak dikupas ya nggak apa-apa! Siapa yang mau mengerjakan tugas saya?

Semua : (diam)

Gareng : o..o..o… semua sudah berani menolak perintah dari saya rupanya. Kalau nggak ada yang mau, ya nggak apa-apa. Tapi awas! Jangan salahkan saya kalau nanti pulang sekolah terjadi sesuatu dengan kalian semua.

Semua : (ketakukan, kemudian saling dorong. Akhirnya petruk yang terdorong keluar dari kelompok)

Gareng : Petruk mau membantu mengerjakan tugas saya?

Petruk : mmm…

Semua : Petruk pasti mau bos!

Gareng : ya..ya bagus. Kalau begitu nanti pulang sekolah, kalian semua pasti selamat!

Semua : asyik…

Gareng : dapat sms cepat dibalas. Beli sabuk, lima belas ribu rupiah. Ayo semua cepat masuk kelas. Bantu Petruk mengerjakan tugas saya

Semua : (beranjak masuk kelas)

Gareng : E..e.. tapi ingat!

Semua : (kembali lagi)

Gareng : yang pertama!

Semua : jangan sampai ada guru yang tau, kalau bos tidak masuk kelas hari ini.

Gareng : yang kedua!

Semua : barangsiapa yang membawa bekal makanan dan minuman dari rumah, mohon dititipkan Bos saja!

Gareng : (meminta bekal makanan dan minuman anak buahnya). Yang ketiga!

Semua : barangsiapa yang Handphonenya berisi gambar dan film begituan, mohon dipinjamkan Bos!

Gareng : (meminta Handphone anak buahnya yang berisi gambar dan film begituan). Yang terakhir!

Semua : apa bos?

Gareng : cepat kembali masuk kelas!

Musik dan semua masuk kelas, hanya tersisa Gareng di sana.

Gareng : Punya anak buah yang nurut-nurut kayak gitu tadi memang enak. Apalagi yang namanya Petruk itu tadi, dia itu anak buah yang paling nurut. Makanan dan minuman yang dia bawa selalu enak (sambil mencicipi bekal yang dibawa petruk). Saya ini heran, Petruk itu anaknya penurut dan pendiam, tapi ternyata Handphone dia itu isinya gambar dan film yang nggak karu-karuan hahaha.. kalau orang jawa bilang itu meneng tapi ndlendhem huwahaha.. oalah Petruk..Petruk.. hmm… ngomong-ngomong, jadi bos Gank itu memang enak. Saya jadi bos Gank itu nggak gampang lho. Saya merintis sejak kecil. Awalnya di TK saya Cuma jadi Anggota Gank, di SD saya mendapat jabatan sebagai Bendahara umum, di SMP jabatan saya naik jadi Wakil Ketua, dan sekarang (sambil menepuk dada) Gareng menjadi Bos! Hahaha… (mengintip kedalam kelas) aduh kok nggak pulang-pulang ya… (memanggil ke dalam kelas) ssst… Truk Petruk! Masih lama ya Pulangnya? Apa? Sebentar lagi? asyik...

Musik bel tanda pulang sekolah, semuanya keluar

Semua : (bergembira)

Gareng : (menyeret Petruk kemudian bertanya) bagaimana tadi? Tugas saya tadi sudah kamu kumpulkan? Trus ada guru yang tau nggak kalau saya tidak masuk kelas?

Petruk : tenang saja bos, beres.

Gareng : beres? Gurunya percaya ya? Kamu tau darimana kalau mereka percaya?

Petruk : lha wong tadi Pak guru saya tanya gini. Apa Bapak percaya kalau tugas ini Gareng yang mengerjakan? Apa Bapak percaya kalau Gareng sekarang masuk kelas? Trus mereka semuanya jawab percaya. Tenang saja bos, Malahan mereka tadi ngomongnya percaya itu sambil tersenyum lho. Berarti mereka itu amat sangat percaya.

Gareng : wah… kamu hebat Truk, ya sudah kalau begitu ayo kita pulang.

Musik, Dhalang masuk

Dhalang : Gareng…

Gareng : iya bapak.

Dhalang : kamu kelihatan capek sekali, bagaimana kegiatanmu di sekolah tadi?

Gareng : iya bapak. Gareng tadi banyak kegiatan di sekolah. Bapak tau nggak Pak, tadi ada temannya Gareng yang nggak mengerjakan tugas. Berhubung Gareng kasihan, akhirnya Gareng yang mengerjakan tugasnya.

Dhalang : lho yang namanya tugas dari sekolah itu ya harus dikerjakan sendiri-sendiri. Besok-besok, kamu jangan mau kalau diminta mengerjakan tugasnya temanmu lagi ya?

Gareng : iya bapak. Eh Pak, tadi ada yang nggak masuk kelas Pak. Tapi berhubung Gareng kasihan, akhirnya Gareng bantu dia jangan sampai ada Guru yang tau kalau dia nggak masuk kelas.

Dhalang : lho itu juga nggak baik. Besok-besok kamu jangan mau kalau disuruh merahasiakan ketidakhadiran temanmu dikelas ya?

Gareng : iya bapak.

Dhalang : anak-anak yang seperti mereka itu, nanti pasti kesulitan saat Ujian Nasional. Kebanyakan nonton sinetron sih, jadi lupa belajar. Lupa sama kewajibannya. Bisa-bisa dia nggak lulus Ujian nasional. Karena apa?

Gareng : karena tidak belajar, tidak mengerjakan tugas, dan tidak masuk dikelas.

Dhalang : Seandainya saja kamu seperti mereka, pasti sudah Bapak kurung dikamar mandi selama satu minggu. Apalagi kalau sampai kamu nggak lulus saat Ujian Nasional nanti, Bapak tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi padamu nak. Mungkin nanti kamu Bapak kurung dikamar mandi selama-lamanya. Setiap satu minggu sekali, Bapak akan mencubiti sekujur tubuhmu dari ujung rambut sampai kaki. Tidak hanya itu, TV, Playstation, Komputer, dan Handphone yang bapak belikan untukmu, bakal bapak jual semua kalau kamu tidak lulus nanti! Karena apa? Kalau sampai kamu tidak lulus, Bapakmu ini bakal tercoreng nama baiknya di kampung ini. Seorang Bapak RT yang terkenal baik, berpendidikan, dan bijaksana dikampung ini, ternyata anaknya nggak lulus Ujian Nasional. Aduh…aduh… Bapakmu ini malu Reng.

Gareng : (ketakutan) iya bapak

Dhalang : makanya itu Reng, Ujian Nasional sudah dekat. Jangan seperti mereka. Kamu harus semakin giat belajar, semakin giat mengerjakan tugas agar nanti bisa Lulus.

Musik, Gareng bingung mencari teman-temannya.

Gareng : Truk.. Petruk…, Gong.. Bagong…, Gog.. Togog…, Lung.. mbilung, Mbuk.. Limbuk…

Semua : (masuk dengan membaca buku pelajaran)

Gareng : kalian semua ini sedang apa? Tau Bosnya kebingungan kok malah baca buku pelajaran?

Petruk : memangnya ada apa bos?

Gareng : kalian tau nggak? Sebentar lagi Ujian Nasional! Tau nggak?

Semua : tau bos…

Gareng : sudah tau kok malah nyantai? Seharusnya kalian itu bingung seperti saya!

Petruk : kita nggak bingung, karena kita rajin belajar, rajin mengerjakan tugas, dan rajin masuk kelas Bos.

Gareng : lho.. lho.. Saya ini Bosmu! Kalau Bosnya bingung, kalian juga harus bingung!

Semua : (berlagak bingung)

Petruk : memangnya Bos ini bingung apa?

Gareng : Saya ini bingung kalau nanti nggak lulus ujian!

Petruk : Gampang bos. Seperti biasanya, nanti pas Ujian Nasional saya kasih contoh jawabannya.

Gareng : Ujian Nasional itu beda, pengawasnya banyak! Kita gak bakal bisa contohan seperti biasanya Truk

Petruk : oo.. begitu ya bos? Waduh… kalau begitu, satu-satunya jalan ya cuma rajin belajar, rajin mengerjakan tugas dan rajin masuk kelas

Gareng : waduh Truk, nggak bakalan nutut! Ujian Nasional tinggal 2 minggu lagi. (melihat kepada semuanya) heh.. kalian jangan cuma baca buku pelajaran saja! Mbok ya ikut mikir bagaiamana caranya agar bisa lulus!

Semua : maaf Bos, kita juga nggak tau bagaimana caranya

Gareng : pokoknya saya nggak mau tau. Kalau sampai saya tidak lulus! Kalian akan saya kurung dikamar mandi seumur hidup! Setiap satu minggu sekali, saya cubiti sekujur tubuh kalian dari ujung rambut sampai ujung kaki. Detik ini juga, kalian harus menemukan cara agar saya bisa lulus. Saya hitung sampai sepuluh!

Ketika Gareng menghitung, satu persatu teman-temannya kabur. Yang terakhir kabur adalah Petruk, akan tetapi keburu ketahuan oleh Gareng.

Gareng : Petruk!! Mau lari kemana kamu??

Petruk : (dengan ketakutan) saya bukannya mau lari, saya malah mau memberikan ide cemerlang buat bos!

Gareng : apa itu?

Petruk : (masih dengan ketakutan) pergi ke dukun!

Musik, Dukun masuk.

Dukun : kamu Gareng kan?

Petruk : iya mbah..

Dukun : anaknya Pak Bagong ketua RT dikampung inikan?

Petruk : kok tau mbah?

Dukun : Rugi dong saya jadi dukun, kalau nggak tau.

Petruk : wah… kebeneran mbah. Saya ini lagi butuh dukun kayak mbah

Dukun : kebetulan juga, Saya juga lagi butuh konsumen kayak kamu hahaha…

Petruk : baiklah mbah, nggak usah lama-lama. Saya minta mantra, agar saya bisa lulus Ujian Nasional nanti.

Dukun : baiklah Saya juga nggak mau berlama-lama. Karena saya juga butuh uang buat makan. Sudah, sekarang kamu duduk disini, kemudian tirukan dan hafalkan mantra saya. Nanti kalau sudah hafal, kamu harus melakukan semua yang ada didalam mantra itu. Paham?

Petruk : Paham mbah!

Dukun : Ooo… tut wuri handayani… kalau dinasehati mbok ya dituruti. Ing ngarso sung tulada.. kalau tidak bisa ya tanyao. Ing madya mangun karsa… kalau mau ujian ya belajaro. Horogogog… gonas wicaramu, Unas tanggunganmu. Kalau belajar saja tidak mau, lulus hanya menjadi mimpi kosongmu. Wekekeke…. Meja-kursi iku tempate. Buku dan pena iku modale. Baca-tulis iku carane. Belajar itu jalan keluare. Berdoa iku kewajibane.

Dhalang masuk bersama teman-teman gareng yang lainnya

Dhalang : Gareng! Apa-apaan ini? Mbah kunti, anak saya ini panjenengan apakan?

Dukun : Ehh.. Pak RT. Saya tidak apa-apakan anaknya Pak RT kok. Saya Cuma memberikan mantra agar dia nanti bisa lulus Ujian.

Dhalang : apa benar itu Reng?

Gareng : (mengangguk)

Dhalang : buat apa minta mantra segala?

Gareng : Gareng takut kalau nanti nggak lulus

Petruk : Gareng takut kalau nanti dikurung dikamar mandi pak

Limbuk : Gareng takut kalau nanti dicubiti sekujur tubuhnya pak

Togog : Gareng takut kalau nanti TV, Playstation, komputer, dan Handphone-nya dijual semua

Mbilung : Gareng takut kalau nanti mencoreng nama baik Bapak

Bagong : dan sebenarnya Gareng takut, karena selama ini nggak pernah mengerjakan tugasnya sendiri. Selalu tidak masuk dikelas. Dan tidak pernah belajar Pak.

Dhalang : Gareng!!

Gareng : (bersujud di kaki dhalang) ampun Bapak.. ampun..

Dhalang : Ooo.. Gareng… bumi gonjang-ganjing… langit katon kelap-kelap… bukan hanya kamu yang patut disalahkan… orang tuamu ya keliru, gurumu ya keliru, semuanya ya keliru. Terlalu banyak tuntutan dan ancaman… membuatmu semakin ketakutan… membuatmu semakin kelabakan… dan akhirnya dukun kau jadikan pelarian… Ooo… gareng anakku. Ujian Nasional sebentar lagi dilaksanakan nak… janganlah kau gentar nak… janganlah kau takut nak… hadapi semua dengan belajar dan berdoa nak… InsyaAllah dengan kedua modal itu kau bisa lulus nak.. amin.. amin..

Minggu, 01 Maret 2009

KAMINO

ada 2 penyebab utama kenapa naskah ini dibuat. yang pertama karena waktu itu beberapa teman ingin "nggarap" sebuah naskah realis yang hanya menggunakan 2 tokoh saja. yang ke 2 gara-gara kemarin ikutan proses ma anak-anak pelangi, jadi gatel deh...

thanx kang wibagso sing maene apik, tapi kok gak iso ngajak kancane apik yo? hahaha... iki guyon kok, tapi agak tenanan hihihi...

Sulastri : darimana Kau?
Kamino : (Diam)
Sulastri : apakah Kau sudah lupa dengan janjimu?
Kamino : (Diam)
Sulastri : atau Kau sudah mulai pikun?
Kamino : maaf
Sulastri : maaf apa? Maaf kalau kau sudah mulai pikun?
Kamino : maaf Aku tidak menepati janjiku
Sulastri : sudah berapa kali Kau ingkari janji?
Kamino : Aku sudah lupa,
Sulastri : Sudah lupa dengan janjimu?
Kamino : bukan, maksudku sudah berapa kali kata-kata maafku
Sulastri : ya, aku maafkan untuk yang kemarin. Untuk saat ini, jangan harap!
Kamino : Aku mohon, Kau bisa memaafkan Aku untuk saat ini
Sulastri : Eee… kata maaf kok dimohonkan. Kata maaf bukan untuk Kau mohonkan padaku
Kamino : lalu bagaimana?
Sulastri : kata maaf cukup Kau hantarkan
Kamino : Baiklah, Aku antarkan kata maafku
Sulastri : sudah terlambat. Untuk saat ini tidak ada kata maaf. Kata maaf yang kau antarkan, Aku terima, tapi bukan berarti aku memaafkanmu. Aku telah membuang kata maafmu itu ke tempat sampah.
Kamino : kau membuangnya ke tempat sampah? Sadarlah Kau, kata maaf cukup terhormat untuk dimintakan? Ee.. maksudku dihantarkan. Seorang ksatria, adalah seseorang yang berani mengakui kesalahannya, dan juga selalu menghantarkan maaf jika dia merasa bersalah
Sulastri : memang… ksatria itu cukup terhormat memang, bila kata maafnya diucapkan hanya satu kali saja. Tapi kalau harus berulang-ulang, aku rasa sudah tidak terhormat lagi. Apalagi jika hampir setiap hari diucapkan oleh dan kepada orang yang sama pula. Sungguh memuakkan!
Kamino : Ah… kalau begitu untuk apa Aku meminta maaf lagi, jika Kau beranggapan seperti itu? bukankah kau selalu bilang bahwa manusia tempat salah dan lupa. Betapa indah dunia ini jika manusia bisa saling memaafkan. Tak akan ada perang. Tak akan ada lagi kebohongan. Kau selalu bilang seperti itu padaku.
Sulastri : memang. Tapi Kau juga selalu bilang bahwa Kau tak akan pernah ingkari janji lagi. Kau juga selalu bilang seperti itu padaku
Kamino : Bukankah Kau juga selalu bilang bahwasanya Tuhan selalu memaafkan hambanya yang mau bertobat.
Sulastri : Siapa yang menjadi Tuhan, dan siapa yang menjadi hambanya? Aku tak mau menjadi Tuhannya
Kamino : Aku juga tak pernah berharap menjadi Tuhan. Menurutku, Tuhan tak bernah bertengkar karena Tuhan Maha memaafkan.
Sulastri : kalau begitu hantarkan maafmu pada Tuhanmu, jangan padaku. Karena aku bukanlah Tuhanmu!
Suasana hening, Kamino tidak bisa membantah lagi
Sulastri : Sekali lagi aku pertanyakan. Darimana Kau sampai larut malam begini baru pulang?
Kamino : (Diam)
Sulastri : (mendekati Kamino) Darimana sampai larut begini baru pulang? Bahkan sudah satu minggu Kau selalu seperti ini. Darimana?
Kamino : (Diam)
Sulastri : apakah Kau sudah lupa jika Kau masih punya istri yang selalu menunggumu dirumah?
Kamino : kalau Aku lupa, tidak mungkin Aku pulang kerumah
Sulastri : Tapi apakah Kau lupa dengan janjimu Kamino? Untuk terakhir kalinya aku bertanya padamu. Darimana Kau?
Kamino : (Diam)
Sulastri : Kenapa diam?
Kamino : (Diam)
Sulastri : Hei, Aku sedang bertanya padamu. Kenapa Kau diam saja?
Kamino : Maaf
Sulastri : aahh… lagi-lagi Maaf. Maaf apa lagi? Coba Kau bayangkan Kamino. Bayangkan seorang pembunuh yang sedang meminta maaf kepada mayat yang telah dibunuhnya. Bayangkan seorang pencuri yang sedang meminta maaf kepada pemilik barang yang telah dicurinya. Bayangkan seorang pemerkosa sedang meminta maaf kepada wanita yang diperkosanya. Dan Bayangkan seorang koruptor yang sedang meminta maaf kepada semua rakyat yang kelaparan. Apa Kau kira setiap kesalahan bisa terselesaikan dengan kata maaf?
Kamino : mungkin seperti itu
Sulastri : seperti itu?
Kamino : Seperti itu juga dengan pertanyaanmu, aku rasa tidak selalu pertanyaan harus dijawab. Dan… (dipotong oleh sulastri)
Sulastri : …dan Kau sudah mulai berani membantahku rupanya. Dasar egois! Sudah tahu bahwa dirinya salah, malah berani membantah. Bahkan mencoba memutarbalikkan fakta yang sesungguhnya. Baiklah kalau maumu seperti itu (exit)
Kamino : Lastri, bukan maksudku untuk membantahmu. Bukan juga inginku untuk menceramahimu. Aku hanya ingin menghantarkan maaf padamu. Aku akui aku salah. Tapi semua kesalahanku padamu ini demi kepentingan orang banyak. Ini semua adalah bagian dari sebuah perjuangan. Seorang pejuang tidak akan berhenti berjuang sampai titik darah penghabisan!
Sulastri : (dari dalam) perjuangan Tai! Kau berjuang demi orang banyak, tapi Kau lupa jika ada sesuatu yang lebih penting untuk Kau perjuangkan saat ini.
Kamino : (berbisik pada dirinya sendiri) bukankah Aku meminta maaf tadi adalah untuk memperjuangkan keharmonisan diantara Aku dan Dia? Alih-alih Dia maafkan, malah Dia mencaciku sedemikian rupa. Dasar Istriku selalu seperti itu semenjak Aku tak lagi menjadi pejabat di Desa ini, dia selalu saja uring-uringan seperti itu. Memang pendapatan bulananku saat ini tidak sebanyak saat menjadi pejabat desa, tapi Aku rasa masih cukup. Untuk menjadi seorang pejabat lagipun sebenarnya Aku masih bisa, jika saja Dia tidak menyuruhku berhenti didalam perebutan kursi kepala desa. Tapi bukankah Dia sendiri yang menyuruhku berhenti dari urusan ini, hanya karena Dia takut Aku nanti menghabiskan banyak uang untuk promosi, hanya karena Dia takut didemo lagi seperti di akhir masa pemerintahanku. Wanita memang dari dulu sampai sekarang sungguh sulit untuk dimengerti. Ada uang abang disayang, tidak punya uang abang ditendang. Ada jabatan abang ditimang, tak ada jabatan abang dilelang
Kamino merasa kedinginan diluar rumah.. Dia ingin segera masuk kedalam.. rasa hati ingin mengetuk pintu, tapi rasa gengsi seorang laki-laki menghalangi keinginan itu.
Kamino : Baiklah.. Aku akan menjawab pertanyaanmu tadi. Aku habis dari rumah Bapak Bowo. Disana Aku mendiskusikan dan merumuskan sebuah terobosan baru agar Pak Bowo bisa menjadi Kepala desa. Kau sendiri tahu siapa Pak bowo itu. Dia adalah orang yang dekat dengan orang-orang sekitar sini yang mayoritas petani. Aku dan Kau juga dulunya adalah seorang petani. Desa inipun juga desanya petani, desa agraris kalau kata orang-orang kota. Aku tahu kalau Aku pernah berjanji padamu untuk tidak ikut terjun dalam perebutan kursi Kepala desa lagi, dan Kau menyarankan agar Aku menjadi petani saja seperti dulu.
Sulastri masuk…
Sulastri : memang kau jadi petani saat ini, tapi akhirnya kau tetap saja menanam benih jabatan disawah orang lain. Di rumah Pak Bowo kau seolah-olah sejalan dengan Visi dan Misinya. Memang Kau sungguh hebat. Tapi dimata Pak Bowo Kau hanyalah orang bodoh yang sedang diperalat. Dia hanya memanfaatkan kepahlawananmu, dan nama besarmu mampu mendongkrak pamornya dimata masyarakat desa ini. Dalam fakta ini, entah siapa yang menjadi ular, dan entah siapa yang menjadi tikusnya. Yang jelas hasil panen sawah itu tak akan pernah bisa dinikmati rakyat desa ini.
Kamino : maksudmu?
Sulastri : Sungguh dramatis sekali jika kau ingat lagi 5 tahun yang lalu. Disaat kau terjatuh dari kursi empuk kepala desa karena digulingkan oleh sebuah demo massal yang dipimpin dan diprakarsai oleh Pak Bowo. Betapa dramatisnya jika ternyata saat ini Kau bergabung dengannya. Pasti ada sebuah kepentingan disini
Kamino : kalau berbicara tentang masa lalu, memang Pak Bowo adalah musuh besarku. Biarlah yang dulu menjadi musuh besar, kini menjadi sahabat untuk mencapai kesejahteraan rakyat desa ini. Demi cita-cita masyarakat desa ini. Dan demi masa depan generasi kita yang telah merdeka.
Sulastri : sungguh berbeda jika kau berbicara tentang masa lalu. Coba Kau ingat lagi peristiwa silam. Bekas pejabat desa yang dulunya adalah para yes man yang paling sejati dari Pak Suhar, kemudian dengan culasnya mereka serta merta tampil sebagai sosok yang paling keras menyuarakan pentingnya reformasi bahkan dengan embel-embel total, sebagai bungkus dari sebuah manuver untuk menggusur Pak Burhan Wakil Kepala Desa yang saat itu menjadi Kepala desa pengganti Pak Suhar karena dilengserkan. Semua karena dendam dan rasa iri sebagai manusia. Kau ingat peristiwa itu?
Kamino : ya, tapi sekali lagi aku tekankan. itu kalau kita berbicara tentang masa lalu. Tapi saat ini yang perlu kita selamatkan adalah generasi muda kita. Tak perlu kita berpikir tentang masa lalu.
Sulastri : Tai! Selalu saja kau mengatasnamaka rakyat. Padahal dibalik semua itu Kau menyimpan segala kebusukan. Kau tidak jauh berbeda dengan Pak Pahan sahabatmu itu. Dia yangsejatinya memiliki dendam masa lalu, saat itu tampil sebagai penyeru reformasi,penegakan Hak Asazi Manusia dan perjuangan demokrasi. Dia yang selama ini mengaku sebagai Ketua Serikat Tani Sejahtera Desa mempunyai sebuah kepentingan, lantas dibungkus sebagai perjuangan yang mengatasnamakan kemaslahatan rakyat Desa. Dengan dalih perbaikan hidup kaum Tani. Lantas Dia merasa perlu untuk membonceng pada waktu, agar suatu saat nanti dicatat sejarah sebagai orang yang juga memberi arti pada kekuatan magis reformasi atau apapun namanya. kau benar-benar tak jauh berbeda dengannya. bukankah harapanmu sesungguhnya hanyalah tercatat sebagai seorang pahlawan untuk kedua kalinya? Aku rasa, Aku telah bersuamikan seekor tikus atau ular yang sangat berbisa. Dasar culas!
Kamino : Cukup!
Sulastri : ingat Kamino! Kau bukanlah seorang pejuang yang sesungguhnya. Kau tidak jauh berbeda dengan Pak Pahan yang sesungguhnya bernama Pak Supaham itu. Tak ada keterangan resmi atau alasan yang bisa dimengerti, apa yang melatarbelakangi penggantian nama itu, yang sejatinya adalah pemberian orang tua Pak Pahan sendiri, dan kemudian menggantinya dengan nama Pahan. Seperti halnya dirimu yang dengan sengaja waktu itu mengganti namamu menjadi Kaminonov! Dan karena sebuah ketakutan akhirnya kau kembali lagi menggunakan nama Kamino
Kamino : Aku bilang Cukup!
Sulastri : hahaha… kenapa? Kau takut semua orang didesa ini mendengar hal yang sesungguhnya? Kau pasti ingat sepucuk surat yang dikirimkan kepadamu. Sebuah paragraph telah menyadarkanku bahwasanya surat itu bukanlah salah kirim, walaupun yang ditulis didalamnya bukanlah tentang dirimu, melainkan sosok Pak Pahan.
Kamino : aku bilang cukup!
Sulastri : Pak Pahan! sosok yang selalu tampil mengenakan kopiah shalat Kaum Muslimin Indonesia. Hahahaha… Itu hanyalah sebagai usaha menghapuskan jejak atau setidaknya mengaburkan masa lalunya sebagai seorang anak aktifis Barisan Tani Indonesia. Salah satu underbow PKI! Bukankah kau tidak jauh berbeda seperti dia?
Kamino : (menampar Sulastri) Bangsat!
Suasana menjadi hening, hanya isak tangis Sulastri yang terdengar…
Sulastri : Hari sudah larut malam. Aku ingin pulang. Aku ingin segera berada dipangkuan-Nya. Saat ini Aku hanya menunggu maut
Kamino : menunggu maut?
Sulastri : iya. Karena tak mungkin lagi aku selalu menunggumu. Menunggu sesuatu yang tidak pasti. Menunggu tikus menggerogoti tubuhku. Menunggu ular mematuk nadiku. Seperti halnya menunggu sebuah janji yang selalu terulang dan diakhiri dengan kata maaf. (menghela nafas mencoba menenangkan diri) Usia telah senja. Aku rasa sudah waktunya Aku mati.
Kamino : maafkan aku… janganlah Engkau berkata seperti itu. Jika engkau mati, siapa lagi yang akan menemaniku?
Sulastri : tapi bukankah memang usia kita sudah begitu senja. Rekan-rekan satu angkatan kita telah gugur 10 tahun yang lalu.
Kamino : iya aku tahu, tapi apapun yang terjadi, berapapun usia kita, dan selemah apapun tubuh kita. Kita harus tetap bertahan dengan segala keterbatasan karena gerogotan usia ini
Sulastri : dalam lubuk hatiku yang paling dalam, sesungguhnya aku masih ingin hidup seratus tahun lagi. Aku masih ingin melihat desa ini lebih dari hanya merdeka. Melihat desaku aman, damai, tentram, dan sejahtera. Melihat desaku tanpa bendera yang berwarna warni saat pemilihan Kepala Desa.
Kamino : aduh.. aduh.. Kau ini aneh-aneh saja. Tidak mungkin kalau tidak ada bendera berwarna-warni disaat seperti itu
Sulastri : kalau saja sudah tidak ada bendera warna-warni lagi, berarti desa ini adalah desa yang damai, aman dan tentram. Kalau sudah begitu, pasti rakyat akan sejahtera, dan tak akan ada lagi rakyat yang kelaparan. Bukankah selama ini yang membuat desa ini semakin kacau adalah bendera yang berwarna-warni itu?
Kamino : iya.. iya.. betapa indahnya desaku jika seperti itu.
Sulastri : bahkan tak akan ada lagi artis dangdut dan tayub yang nyambi jadi tim sukses bendera-bendera itu
Kamino : iya.. iya.. memang sebaiknya artis dangdut dan tayub tetap sebagai seorang penghibur saja
Sulastri : aku ingat waktu aku dulu masih sebagai ibu Desa. Aku menjadi Seorang wanita paling dihormati didesa ini. Semua orang memberikan senyuman dan lambaian tangan padaku saat bertemu. Setiap mata memandangku takjub. Setiap apa yang terucap dari mulutku selalu dituruti. Tapi itu dulu. Disaat hanya ada 3 bendera kelompok di desa ini. Sesaat setelah peristiwa demo massal pelengseranmu itu, semua mata memandangku jijik. Tak ada senyum diwajah mereka. Yang ada hanya cibiran dan gunjingan. Anehnya, orang-orang masih menatapmu sebagai orang yang patut dihormati, mungkin karena mereka mencatatmu sebagai seorang pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan. Tapi mereka mencatatku sebagai istri seorang koruptor. Padahal aku adalah istrimu. Hanya sebagai istri seorang pejabat desa yang tidak mempunyai celah sedikitpin untuk korupsi. Kenapa? Siapa yang harus disalahkan? Jawab! (sambil mengguncangkan tubuh Kamino)
Sulastri : Kau tahu kenapa kita masih belum mati?
Kamino : (menggelengkan kepala)
Sulastri : karena kita masih menanggung beban dosa yang cukup besar
Kamino : (memandang keheranan)
Sulastri : aku menanggung beban rahasia tentang kepahlawananmu, sedangkan kau masih menyimpan kebusukan kepahlawananmu, bahkan meriwayatkan sejarah palsu.
Kamino : aku menyadari hal itu, memang kebusukan kepahlawananku lebih baik aku simpan rapi dalam sanubari. Sehingga anak cucu kita masih mempunyai kebanggaan didalam masa lalu pendahulunya. Dan menurutku urusan hidup mati bukanlah urusan kita, ini merupakan hak prerogatif Tuhan yang maha Esa
Sulastri : tapi aku sudah lelah, aku ingin mati.
Kamino : sssst… tidak baik kau berkata seperti itu. Sudahlah…
Sulastri : tidak, aku memang sudah ingin mati. Mati dalam keadaan tenang. Tidak menyimpan rahasia apapun!
Kamino : sudahlah sayang, jangan kau berkata seperti itu. Batin ini sakit mendengar kata mati.
Sulastri : batinku lebih sakit, dan bahkan dari dulu batin ini telah sakit.
Kamino : percayalah padaku, bahwasanya kebusukan kepahlawananku ini hanyalah demi sebuah kebanggaan anak cucu kita.
Sulastri : Kebanggaan Tai! memang sedari dulu aku selalu percaya dengan janji-janjimu. Selalu tergoda oleh harapan-harapan besarmu. Harapan seorang pahlawan revolusi. Harapan seorang pahlawan reformasi. Harapan seorang pahlawan yang ingin selalu dikenang dan dipuja setiap saat. Bahkan kalau perlu bisa dijadikan pahlawan untuk kedua kalinya. Revolusi tai. Reformasi tai.
Kamino : (diam)
Sulastri : ingat! Kau bukanlah seorang pejuang. Kau hanyalah bagian dari sejarah, dan tau tentang sejarah bangsa ini, sejarah desa ini.
Kamino : Sudah cukup! Kau sudah kelewatan, dan kau salah mengartikan kepahlawananku.
Sulastri : Aku rasa aku benar! Dan aku benar-benar tau apa yang sebenarnya terjadi saat itu!
Kamino : (tertawa membanggakan diri) aku ikut berjuang saat itu. Aku tergabung dalam sebuah wadah perjuangan GRD. Gerakan Rakyat Desa. Aku selalu berada ditengah-tengah Suyudi dan Wasito saat itu.
Sulastri : lanjutkan lagi ceritamu
Kamino : untuk apa? Aku rasa sudah jelas sampai disitu saja
Sulastri : aku ingin tau kelanjutan kisah itu. Kelanjutan cerita di saat itu, pada masa peperangan itu, disaat Belanda merekrut orang-orang sekitar Malang, untuk dijadikan mata-mata yang bertugas menyusup dalam pasukan GRD, untuk memperoleh informasi rahasia tentang pola perjuangan GRD, sering para pemuda yang tergabung di dalamnya, pada malam-malam tertentu mengadakan pertemuan atau jagongan di sebuah warung kopi untuk membahas dan menyepakati rencana-rencana selanjutnya, akan tetapi setiap kali sehabis rapat dan besoknya melaksanakan rencana tersebut, selalu gerakan para pemuda pejuang itu dapat dipatahkan dan diobrak-abrik oleh pasukan Belanda, dan saat itu Belanda memang sangat berambisi mematahkan dan menumpas GRD sampai ke akar-akarnya, karena GRD yang sebenarnya adalah gabungan dari sisa-sisa Laskar Mayor Hamid Rusdi, yang gugur ditembak Belanda pada 8 maret 1949 di Dusun Sekarputih atau yang sekarang disebut Desa Wonokoyo.
Kamino : kau sudah tau tentang itu, untuk apa aku harus menceritakannya kembali padamu?
Sulastri : (tertawa kecil) masih bisa kau mengelak
Kamino : apa yang harus aku elakkan? Semuanya bersih. Semuanya sesuai dengan fakta yang terjadi saat itu. Apa lagi?
Sulastri : bersih? Sesuai dengan fakta? Apakah kau sudah lupa?
Kamino : lupa? Tidak ada yang terlewat dalam kesaksianku
Sulastri : benar?
Kamino : (sedikit ragu) aku rasa benar
Sulastri : sekali lagi aku tanyakan. Apakah benar tidak ada yang terlewatkan dari kesaksian yang kau ceritakan dan kau riwayatkan pada generasi muda bangsa dan desa ini?
Kamino : (semakin ragu) sepertinya tidak ada
Sulastri : ya Tuhan. Ampunilah dosa-dosa suamiku ini yang telah meng-anak turunkan sebuah kebohongan pada cucu-cucunya yang tak berdosa
Kamino : (dengan mimik yang ragu mencoba membantah) hei! Kenapa kau membawa-bawa nama Tuhan?
Sulastri : karena aku masih mengakui keberadaan Tuhan dalam hidupku. Coba Kau ingat-ingat lagi. Sepenggal cerita tetang perjuanganmu saat itu. Apa kau sudah lupa? Atau jangan-jangan ada sebuah cerita yang dengan sengaja kau pendam dalam-dalam, sehingga tak ada satu orangpun yang akan mengungkit keberadaanmu dalam jajaran nama-nama pahlawan di desa ini.
Kamino : (Diam dengan hati yang kesal)
Sulastri : sebentar. Aku ulang lagi runtutan ceritaku tadi, agar kau ingat bagian mana yang telah kau lupakan dan tak kau ceritakan kepada khalayak.
Sulastri menceritakan kembali dengan perlahan. Kamino semakin gundah.
disaat Belanda merekrut orang-orang sekitar Malang, untuk dijadikan mata-mata yang bertugas menyusup dalam pasukan GRD, untuk memperoleh informasi rahasia tentang pola perjuangan GRD, sering para pemuda yang tergabung di dalamnya, pada malam-malam tertentu mengadakan pertemuan atau jagongan di sebuah warung kopi untuk membahas dan menyepakati rencana-rencana selanjutnya, akan tetapi setiap kali sehabis rapat dan besoknya melaksanakan rencana tersebut, selalu gerakan para pemuda pejuang itu dapat dipatahkan dan diobrak-abrik oleh pasukan Belanda
Kamino : Sudah..! Cukup..!
Sulastri mengulang lagi bait terakhir paragraph
disaat Belanda merekrut orang-orang sekitar Malang, untuk dijadikan mata-mata yang bertugas menyusup dalam pasukan GRD, untuk memperoleh informasi rahasia tentang pola perjuangan GRD, sering para pemuda yang tergabung di dalamnya, pada malam-malam tertentu mengadakan pertemuan atau jagongan di sebuah warung kopi untuk membahas dan menyepakati rencana-rencana selanjutnya, akan tetapi setiap kali sehabis rapat dan besoknya melaksanakan rencana tersebut, selalu gerakan para pemuda pejuang itu dapat dipatahkan dan diobrak-abrik oleh pasukan Belanda
Kamino : Sudah… sudah.. aku sudah tak tahan lagi… cukup!
Sulastri mengulang lagi bait terakhir paragraph
kala itu Belanda banyak merekrut orang-orang sekitar Malang, atau orang asli kota, untuk dijadikan mata-mata yang bertugas menyusup dalam pasukan GRD, untuk memperoleh informasi rahasia tentang pola perjuangan GRD…
Kamino : iya.. iya.. aku ingat semuanya! Akulah orang yang direkrut oleh belanda saat itu. Akulah yang menjadi mata-mata mereka! Tapi apalah arti semua ini jika ternyata para pejuang GRD akhirnya menang juga.
Sulastri : kau lupa, berapa jumlah pejuang yang gugur saat itu?
Kamino : kemerdekaan memang harus dibayar dengan darah dan nyawa para pejuangnya
Sulastri : iya, tapi apakah kepahlawanan juga harus dibayar dengan itu semua? Apakah tidak cukup pengkhianatanmu kepada bangsamu selama ini? Seorang Kamino yang berganti nama menjadi Kaminonov! Kamino Anak mbah Wongso Dadung yang buta huruf terpesona oleh palu arit. Kamino yang kepincut dengan rumusan abstrak, bahwasanya "wong tani" pegangannya harus palu dan arit, dan bukan Lintang Rembulan atau gambar Jagat Lintang Sanga, karena petani bekerja dengan arit. Kau ingat itu Kamino?
Kamino : (kamino hanya bisa menutupi telinganya, dan merasakan sakit dikepalanya)
Sulastri : Setelah makin aktif menghadiri rapat dan main ketoprak, Kau ganti nama menjadi Kaminonov. Edan! Secara blak-blakan Kau membuka diri sebagai kaum salat keno ora yo keno. Kau juga jadi terampil mengejek lawan sebagai kaum nggoiril. Gestapu meletus. Islam bangkit. Perang sabil diteriakkan. Di berbagai daerah kemarahan tak terkendalikan. PKI disembelih
Kamino : (kamino semakin tidak tahan)
Sulastri : Namun, segala puji hanya bagi-Mu Tuhan, darah tak menetes. Berkat perlindungan Pak Lurah didesamu. Kau pasti ingat apa yang dikatakan pak lurah saat itu. “pada prinsipnya semua ini saudara. PKI di desa saya cuma golongan cepethe. Mereka cuma ikut-ikutan. Sebagian hanya senang karena tiap rapat ada makan. Tahu apa mereka tentang politik?” setelah peristiwa itu Kau mengubah namamu lagi menjadi Kamino. Kau pasti ingat itu Kamino? Kenapa tak kau ceritakan saja pada semuanya?
Kamino : (semakin menggigil ketakutan)
Sulastri : Kau memang sosok yang selalu beruntung Kamino! Beruntung saat Peperangan antara Belanda dan GRD, beruntung saat Gestapu meletus, beruntung pada saat lengsernya Suhar, beruntung dari cap orang terlarang, bahkan beruntung menjadi seorang pejabat sekaligus pahlawan!
Kamino : tidak!
Sulastri : Kau benar-benar opengecut yang sangat beruntung Kamino!
Kamino : aku tidak seberuntung itu. Aku tidak beruntung dihadapanmu. Dihadapanmu, Aku hanyalah seorang pengecut. Untuk Bangsaku, Aku hanyalah seorang penghianat. Untuk anak-cucuku, aku hanyalah pecundang. Dan untuk Tuhanku, Aku hanyalah Pendosa.
Sulastri : katakan semua itu pada mereka Kamino! Kau bukan pengecut, pengkhianat, pecundang, ataupun pendosa jika Kau katakan semua itu pada mereka. Katakan fakta sejarah yang sesungguhnya Kamino! Kau adalah seorang ksatria yang berani mengakui keberadaanmu yang sesungguhnya didalam sejarah bangsa. Disinilah kepahlawananmu yang sesungguhnya! Ayolah Kamino! Katakan segera pada mereka, (X terjatuh) aku sudah tak tahan lagi Kamino. Aku ingin segera menjemput maut. Aku ingin mati sebagai seorang istri pahlawan sejati. Katakan pada mereka Kamino!
Suasana menjadi sunyi…

Sabtu, 07 Februari 2009

Tahun 15

Teriknya semakin menambah kekeringan hati lelaki tua itu. Sendiri termenung diantara kebisingan lalu-lalang derit suara kopor dan sepatu para penjaja jasa. Tak pernah terbayang sekalipun dalam benak lelaki berjenggot itu untuk sejenak melupakan kisah indahnya yang telah lama mati. Dengan sedikit menyipitkan mata, dia mencoba memastikan detak-detak detik jarum jam untuk tetap berdetak dan berdetik.

“Perhatian, perhatian…! Kereta Api dari Surabaya. Jurusan Surabaya-Malang akan segera datang. Bagi para calon penumpang jurusan Surabaya-Malang diharap segera bersiap-siap dijalur 2. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih” Laki-laki tua itu segera beranjak dari duduk dan tak segan Dia berjejal dengan orang lain yang lebih muda darinya. “Priitt...!” tak lama kemudian puluhan orang yang berjejal dengan lelaki itu sudah berada di dalam kereta. Dipandanginya setiap pintu keluar kereta, sesekali dia berjalan dengan sedikit langkah yang dipercepat menuju gerbong yang paling barat dan… akhirnya dia kembali lagi dengan langkah lebih lambat dari biasanya. Diusapnya peluh yang membasahi leher keriput itu perlahan. Suasana disekitarnya kembali sepi, para penumpang sudah masuk ke dalam kereta, sedangkan orang-orang yang turun dari kereta sudah tak ada lagi. Lelaki itu kembali terduduk dalam kekeringan batin dan kisah-kisah indahnya yang telah lama mati.

“Koran pak…!” lelaki tua itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ternyata diantara kekeringan batinnya, dia masih bisa tersenyum walau mungkin itu cukup berat. Matanya mulai sedikit terkatup, usia berkepala lima yang menggelayuti hidup lelaki itu sudah tak lagi kuat untuk sejenak memendarkan mata. Detik-detik masih tetap berdetak, derit kopor para penumpang dan derap para penjaja jasa juga masih tetap berderik menusuk gendang telinga. Suasana di sekitar masih tetap, atau mungkin lebih tepatnya sedikit sekali mengalami perubahan. Mbok jail masih tetap dengan TTS-nya, Yu Sri masih berdendang dihadapan para penumpang, Tole masih saja menggoyangkan tubuhnya untuk sepericik harapan, dan lelaki itu sudah…

“Sak welase pak…!” Dia terbangun dari tidurnya, dengan sedikit terengah karena terkejut, dan kemudian mengambil dua keping logam seratusan rupiah untuk anak kecil pembatas mimpinya beberapa detik yang lalu. Tanpa disadari hari sudah gelap dan Dia segera beranjak pulang mempersiapkan segalanya untuk hari esok.

Keesokan harinya “tahun lima belas, hari ketiga” lelaki itu memulai rutinitasnya di dalam stasiun ini pada tempat yang tidak bergeser sama sekali dari posisi duduk yang kemarin. “hari ini…hari ketiga, tahun lima belas untukku tetap berharap. Yang dulu berbatas angan tanpa gaung takbir, yang dulu berdenting tranpa dengung, dan yang dulu berkini-kini tanpa esok pagi” gumam lelaki itu. Mbok Jail yang sedari tadi sibuk dengan TTS-nya tersontak kaget mendengar celoteh yang baru saja mendarat tepat dilubang pendengarannya. Mbok Jail-pun segera membangunkan Tole yang tertidur dipangkuannya, “le…tole… tangio le! Heh.. ndang tangi!” sambil menggoyangkan tubuh Tole. “opo to mak?” tanya Tole dengan sedikit kesal. “iku lho, wong iku iso ngomong tiba’e le, dowo maneh ngomonge” jawab Mbok Jail dengan antusias. Tole yang tadinya malas untuk membuka lebar matanya, sekarang malah melotot setelah mendengar jawaban Mbok Jail. “mosok tho mak?” tanya Tole lebih antusias. “kon iku diomongi wong tuwo kok gak ngandel se?” jawab Mbok Jail. Tolepun mulai berdiri tegak. Setelah menggeliatkan badannya, dia sedikit berfilsafat “tapi lek tak pikir-pikir, iku dudu urusane awak dewe mak. Bah iso ngomong, bah sumbing urusane. Urusanku yo golek duit, urusane sampeyan yo ngekeki aku duit! Haha…” sambil berlari menjauh dari Mbok Jail. “oalah bocah saiki pancen mokong-mokong, yaopo-yaopo sing tuo yo dadi kalahan” sambil menatap lelaki itu.

Lelaki tua itu melemparkan senyuman kepada Mbok Jail, seolah-olah dia menyetujui apa yang baru saja dilontarkan Mbok Jail. Melihat hal itu Mbok Jail tambah kaget serasa tidak percaya dengan apa yang Dia lihat “Allahuakbar…!” sebuah kalimat pujaan yang sebenarnya tak biasa diucapkan kini benar-benar terlontar dari mulut Mbok Jail. Dengan sedikit berlari Mbok Jail mencari Tole untuk memberikan kabar tentang apa yang baru saja dia lihat. “le…tole…mrinio tho le…tak kandani…”

Tahun lima belas, hari empat. “kenapa? Masih seperti satu atau beberapa tahun yang lalu pada jam ini, tarikan nafas ini, detak nadi yang ini, gerakan tubuh ini, pada hari yang bukan ini.”

Tahun lima belas, hari 5. Mbok Jail yang beberapa hari ini selalu mengamati gerak-gerik lelaki itu, malah jadi kepincut. Dengan lagak yang sok cari-cari perhatian. Mbok Jail sampai rela berpura-pura jatuh lebih dari sepuluh kali sehari didepan laki-laki itu, hanya karena ingin melihat senyum tanggung yang khas dari sang Idola. “perhatian, perhatian…! Kereta api dari Surabaya. Jurusan Surabaya-Malang akan segera datang. Bagi para penumpang jurusan Surabaya-Malang dihartap segera bersiap-siap di jalur dua. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih” lelaki itu beranjak dari duduknya, seperti hari-hari yang lalu. Ia mengamati semua pintu keluar gerbong sambil berjejal dengan para penumpang lain. Lagi-lagi dia berlari kecil menuju gerbong yang paling barat dan lagi-lagi pula Dia kembali dengan langkah cukup berat. Seolah tak ada lagi gemerlap kunang di malam hari dan nyanyian penjual koran dihadapannya.

Tanpa sengaja lelaki itu menjatuhkan barang dagangan mbok Jail. “maaf, tidak sengaja” sambil tersenyum dan kemudian memunguti barang-barang Mbok Jail yang terjatuh. Mbok Jail hanya terdiam tak bisa berkata lagi, diremasnya kuat-kuat TTS digenggaman, serasa resah hatinya menatap lekat pada sang idola.

Tahun 15, hari enam. Lelaki itu masih diliputi bercak kepedihan dalam hatinya yang pernah tersayat dan takkan pernah terobati. “sampai kapan aku harus menunggu disini” gelisah hati memaksa batinnya berucap seperti itu.

“kalaupun hari ini masih saja aku belum mendapati secercah bayang, atau serpihan kalbu yang dulu pernah tinggalkanku disini. Mungkin aku akan semakin menyesali keberadaan Tuhanku yang setiap detiknya selalu kusebut” langit yang pekat dan petir yang berkelebat bersahutan dengan pasti, seolah menjadi sebuah titik takdir yang terlewat dalam akal budi manusia.

Langkah kaki itu tidak seperti hari-hari biasanya, ketika berjalan pulang menyiapkan segalanya untuk hari esok. Goresan-goresan wajah yang dalam, tangis perih dan sayatan dalam hidup lelaki tua itu seakan menjadikan sebuah titik takdir semakin menggelepar dihadap-Nya. Air mata yang mengalir deras diantara periuk harapan memastikan segalanya, menggambarkan sebuah penantian yang cukup melelahkan. “aku tercipta, aku diciptakan, akupun tenggelam”

Tahun 15, hari tujuh. Mbok jail kini hanya bisa terdiam. TTS yang selama ini selalu menjadi penghibur dikala sepi mengusiknya, kini beralih fungsi menjadi pengering air mata yang tak henti-hentinya mengalir

Selasa, 03 Februari 2009

Genjer-genjer

Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ nong kedok-an pating keleler (Di pematang, berserakan)/ Emak-e tole,teko-teko (Ibunya anak-anak, datang-datang)/ bubuti genjer (Mencabuti genjer)

Oleh sak tenong (Dapat sebakul)/ mungkor sedot (Lalu ngeloyor pergi)/ seng tole-tole (Dapat yang kecil-kecil)

Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ saiki wis digowo muleh (Sekarang sudah dibawa pulang)/ Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ isuk-isuk didol ning pasar (Pagi-pagi dijual di pasar)
Dijejer-jejer, diuntingi,
podo didasar (Dibariskan, diikat dan semua digelar)

Emak-e Jebreng (Ibunya Jebreng)/ podo tuku nggowo
welasan (pada beli membawa belasan ikat)

Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ saiki wis arep diolah (sekarang siap diolah)

Dari bait-bait diatas, sepertinya tak ada yang salah dengan diksi-diksinya jika kita memahami dengan objektif. Sebuah lagu yang mulai dikenal di Banyuwangi pada tahun 1960-an ini hanyalah sebuah lagu rakyat seperti halnya Ampar-Ampar pisang, Jali-jali, dll. Pada tahun 1963 lagu ini diaransemen oleh M.Arief, dan Sosok Bing Slamet-lah penyanyi yang memperdengarkan lagu ini kepada masyarakat melalui media elektronik Nasional (RRI dan TVRI). Tahun 1965 lagu ini tidak mendapatkan ijin lagi di perdengarkan kepada khalayak.

Beberapa cerita orang-orang yang saya temui, genjer-genjer adalah simbolisasi para petani dijaman itu. Para petani yang pada saat itu kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah di jaman Soekarno. Partai Komunis Indonesia (PKI) memanfaatkan momentum ini dengan menggalang basis kekuatan dari kalangan petani, dan cara inilah yang menjadikannya sebagai partai berbasis massa terbesar bersanding dengan Masyumi. Bayangkan saja PKI mempunyai 3 juta Anggota dan pendukung aktif sekitar 17 juta!!

Lambang Palu Arit hanyalah sebuah simbol kerakyatan, khususnya para petani. Mengapa saat ini harus menjadi simbolisasi yang cukup menakutkan? Berikut ini saya kutip sebuah paragraph dari cerita Mohammad Sobary yang berjudul Kang Sejo Melihat Tuhan

Namun, segala puji hanya bagi-Mu, darah tak menetes di desa
saya. Pak Lurah, biarpun pernah diancam PKI, melindungi
mereka. Prinsipnya semua saudara. Lagi pula, PKI di desa
saya cuma golongan cepethe. Pak Lurah sering bilang, mereka
cuma ikut-ikutan. Sebagian hanya senang karena tiap rapat
ada makan. Tahu apa mereka tentang politik?
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 6 Oktober 1990

Dari kutipan diatas kita bisa merasakan betapa polosnya para kaum tani. Yang mereka tau hanyalah sebuah harapan besar agar negaranya makmur, tapi mereka tak tau kemana kemakmuran sebuah negara yang tak sampai menyentuh kemakmuran “perut” rakyatnya. Pada saat seperti itu PKI dengan cerdiknya memberikan sesuatu yang kongkrit daripada sebuah harapan. Para petani diperhatikan. Para Pegawai Negeri yang ikut PKI juga mendapatkan gaji lebih besar daripada Pegawai Negeri yang tidak ikut PKI Untuk lebih mendekatkan diri pada rakyat kecil, PKI menelurkan beberapa lembaga seperti LEKRA. Lagu rakyat seperti genjer-genjer juga dikumandangkan untuk memberikan semangat bagi para petani disaat bekerja. Seolah-olah saat itu para petani yang sebelumnya “pating keleler” kini sudah diber-daya-kan lagi, seperti bait-bait “saiki wis digowo muleh”,”saiki wis arep diolah”,”podo didasar”,”saiki wis digowo muleh”,”isuk-isuk didol ning pasar”

Para petani sudah dibawa pulang oleh PKI, dibawa pulang menuju kesejahteraan yang lebih konkrit. Genjer-genjer secara nyata hanyalah salah satu jenis tumbuhan liar yang hidup di rawa-rawa dan sawah basah, tanah lumpur yang berair. Sesuatu yang bersifat liar kadang sangat militan dengan apa yang mereka yakini. Sifat inilah yang dijadikan titik temu antara ideologi PKI dan rakyat kecil (petani). Rawa-rawa, sawah basah dan tanah lumpur yang berair adalah Negeri kita Indonesia yang subur dan makmur. Ada apa dengan kemiskinan di sebuah Negeri yang subur?

Sebuah karya ibarat anak yang telah dilahirkan. Genjer-genjer adalah sebuah karya besar dari bapak yang tak pernah kita kenal. Bukankah pencipta lagu genjer-genjer disaat menciptakan tak pernah peduli dengan diksi-diksi yang berbau politis? Seperti halnya Hardjomo di dalam film Djejak Darah Surat Teruntuk Adinda. Berikut ini petikan resensi oleh Monika Pretty dan Windu Yusuf
Kesenian tidak seharusnya meninabobokan penontonnya. Ia meyakini bahwa bermain kethoprak haruslah dengan visi dan dari sanggar milik Pak Gito itulah Hardjono belajar tentang visi itu. Sebelumnya di awal surat, ia mengisahkan perburuan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI, dekat dengan PKI atau pernah ikut dalam acara-acara yang diadakan PKI di kampungnya. Sampai di situ, penonton bisa menebak bahwa grup kethoprak yang diikuti Hardjono berafiliasi dengan LEKRA, lembaga kesenian PKI. Di sisi lain, Hardjono diceritakan hanya mau bermain kethoprak saja dan tidak tahu-menahu soal politik.
Penting untuk mengamati karakter Hardjono sebagai subjek sejarah yang disingkirkan. Ia dilekatkan pada stereotip identitas sosial tertentu di masa itu, yang ironisnya baru terungkap bertahun-tahun setelahnya. Hardjono adalah orang desa, pelaku kesenian rakyat, dan tidak tahu apa-apa mengenai peristiwa besar yang menjadikan mereka korban. Tidak dicantumkan dengan jelas di dalam film ini afiliasi sanggar seni Hardjono itu. Alasan Hardjono bergabung dengan sanggar seni Pak Gito yang memiliki visi “kesenian mengabdi pada revolusi” yang disebutkan secara verbal, menjadi flashing arrows yang penting dalam film ini (petunjuk yang diselipkan sebagai bagian yang menyatu dalam narasi:ed)


Djejak Darah Surat Teruntuk Adinda
M. Aprisiyanto
Fiksi/12 menit/Dè jávu production/2004
Tulisan ini merupakan hasil workshop yang diadakan dalam program Mari Menonton oleh Kinoki Yogyakarta bekerjasama dengan Konfiden. Untuk keterangan lebih lanjut silahkan hubungi; marimenonton@yahoo.com dan kunjungi http://marimenonton.blogspot.com

Dengan amat sangat yakin, saya beranggapan bahwa lagu genjer-genjer hanyalah korban. Seperti halnya menanggung akibat dari sebab yang tidak diperbuatnya sendiri. Berbeda dengan bait pelesetan shalawat badar ini:

salat keno, ora yo keno
pokoke mbela Bung Karno
salat keno, ora yo keno
sing penting mbelo Bung Karno.
(Salat boleh, tidak pun tak soal,
yang penting membela Bung Karno.)

Yang jelas-jelas mempunyai makna politis berupa pengkultusan pada Bung Karno dan ejekan untuk kekuatan Islam.

Saya pribadi sebagai orang yang mencoba peduli dengan musik tradisional sedikit kecewa jika Genjer-genjer dengan sengaja dihapuskan. Bagi kami, semua lagu tradisional mempunyai pesan yang sungguh bijak (JIKA DIMAKNAI SECARA OBJEKTIF).

Semoga tulisan ini bisa mengajak 1 orang saja untuk peduli dengan musik tradisi. Peduli bukan berarti ikut terlibat didalamnya, cukup hanya ceritakan saja kepada anak-anak anda suatu saat nanti. Dengan begitu, sebuah tradisi negeri ini tak akan pernah mati.

Sabtu, 31 Januari 2009

Padas Asmara

Padas Asmara

Terdengar cukup lantang suara Adzan subuh ditelingaku.Matakupun spontan membelalak. Mimpi indah terhenti secara otomatis. Dengan malas kulangkahkan kaki untuk mengambil air wudlu. kurasakan dingin yang menusuk saat air masuk kedalam pori-pori, setiap sendi serasa ngilu, dan setiap hari kualami hal yang sama.

Nama anak itu adalah Padas. "Padas Asmara" lengkapnya, kata orang-orang dikampung. Aku tidak pernah tahu tentang Dia sebelumnya, karena aku hanyalah seorang pendatang disini. Dari sorot matanya aku melihat dendam dan kerinduan yang mendalam. Wajahnya tirus. Sepertinya dia bocah yang tidak mendapatkan porsi seperti bocah-bocah lain yang seumuran dengannya. bicaranyapun gagap, tapi bukan dari lahir kata orang-orang dikampung.

Padas, rindumu menggangguku. Dendam yang kau simpan juga menggangguku. Aku hanyalah pendatang dikampungmu, dan aku tidak punya urusan apa-apa denganmu. Mengapa kehadiranmu selalu menggangguku? aku tahu bahwasanya dirimu tak pernah bermaksud mengusikku, tapi...

Pagi ini aku melihatmu lagi. Disaat sendi-sendiku serasa ngilu, disaat langkahku ingin bersujud, kau sudah ada disana. Pada sudut itu kau duduk sambil meneteskan air mata. Sorot matamu tetap tajam mengamati tiap-tiap orang yang masuk kedalam Masjid, walau air matamu selalu deras membasahi. Ada apa denganku yang terusik karena kehadiranmu? sedangkan orang lain tak pernah peduli dengan kehadiranmu disudut itu.

Baru saja 2 minggu aku ada di kampung ini, baru 1 minggu kau sita waktu subuhku, dan aku sudah tak tahan dengan kehadiranmu yang tidak sengaja mengusikku. Padas! ada apa denganmu?

Padas, bocah miskin yang tinggal hanya dengan neneknya. Ayah ibunya entah kemana. Dikampung ini hanya kau yang diasuh bukan oleh orang tuamu sendiri. Dalam rindumu hanyalah belai lembut nenek. Dalam tangismu hanyalah kidung nenek yang hentikan. Semua orang tak pernah tahu kapan dan dimana kau dilahirkan. Yang mereka tahu hanyalah Seorang nenek miskin melaporkan kepada Pak RT bahwa telah menemukan bayi mungil di pelataran rumahnya. Setiap adzan subuh kau dibangunkan oleh parau suara nenek "ayo bangun nak.. shalat.. shalat.." Setiap malam yang kau dengar hanyalah dendang nenek hingga kau terlelap. Setiap makanan yang masuk kedalam perutmu berasal dari suapan nenek. Setiap subuhmu, hanya tangan kasar nenek yang menggandeng tanganmu saat berjalan untuk bersujud. Setiap nafasmu hanyalah nenek. 7 tahunpun telah berlalu. Aku tak pernah mengerti itu sebelumnya, karena aku hanyalah seorang pendatang.

Mimpi burukmu menjadi sebuah kenyataan pada saat adzan subuh berakhir. Tangan kasar nenek yang menggandengmu saat itu adalah saat terakhir. Saat takbir pada rakaa'at pertama berkumandang, saat itulah mimpi buruk itu menjadi kenyataan. Caci maki telah terdengar diluar masjid. Sepersekian detik kaca-kaca masjid telah pecah oleh lemparan batu. Wajah-wajah panik didalam masjid. Wajah-wajah marah muncul didepan pintu masjid, sambil menggenggam benda-benda tumpul. Kau hanya bisa menangis. Serasa cepat semua berlalu. ketika suasana hening, yang kau dapati hanyalah mayat nenekmu yang sedang bersujud. Nenekmu telah mati disini. Tak ada lagi dendang nenek yang melelapkanmu, tak ada lagi suapan nenek, tak ada lagi suara parau nenek yang membangunkanmu, dan tak ada lagi tangan kasar yang menggandengmu waktu subuh. Kau benar-benar tak siap dengan ini semua. Sejak saat itu kau menjadi gagap. Sorot mata dendammu tumbuh.

Padas, nenekmu hanyalah orang islam yang taat. Nenekmu tidak pernah tau tentang aliran-aliran yang katanya sesat itu. Nenekmu hanya menunaikan kewajibannya di masjid. Masjid yang telah dibangun oleh para pengikut Aliran itu. Nenekmu tetap meyakini Muhammad SAW adalah nabi terakhir. Tidak seperti anggapan pengikut aliran itu.

Beberapa minggu telah berlalu, dan aku merindukan kampung halamanku. Kebetulan Handphone-ku berbunyi, sebuah pesan dengan nama yang muncul adalah "Rumah". Disaat rasa hati telah rindu, saat itu pula ternyata keluarga di kampung halaman memberi kabar. "Segera pulang" hanya itu isi pesan yang masuk.

Sesampai dirumah aku hanya bisa menangis, tiba-tiba lidahku kelu, aku menjadi gagap, dan saat itu pula tumbuh dendam dalam hatiku. Aku teringat Padas. Ternyata inilah yang kau rasakan. Setiap ku dengar adzan subuh, saat itu pulalah dendam dan rinduku mencapai puncaknya. Aku hanya bisa duduk disudut beranda masjid, mencoba mengenali satu-persatu wajah orang yang masuk masjid, dan berharap untuk bertemu dengan ibuku yang telah mati disini.

Rabu, 21 Januari 2009

APALAH ARTI SEBUAH NAMA?

Bodoh banget Shakespear pake ngelontarin kalimat kayak judul diatas itu?? dasar bukan orang jawa sih dia, jadi gak ngerti arti sebuah nama (emang bukan orang jawa haha...) untung aja Shakespear gak hidup satu atap ma mbah buyut kita jaman dulu, coba kalo dia hidup satu jaman dan satu atap sama "Ken Arok" waah!!! bisa dikira "Ken Dedes" tuh dia eh... maksud saya bisa perang mulut tuh sama "mbah Ken"

Nah loh.. kok jadi ngomongin mbakyu Shakespear sih???Back to the point!!

Nama bagi sebagian orang adalah Doa, sebagian yang lain menganggap nama adalah sebuah penanda, dan ada juga yang iseng aja (Wakaka... emang ada??)

Yang jadi pikiran saya adalah tentang nama saya sendiri???
"YUSRIZAL HELMI"
"Yus" diambil dari sebagian nama Bapak, "Helmi" diambil dari sebagian nama Ibu, dan kalo yang tengah "Rizal" diambil dari kebun sebelah (Rizal berarti semacam umbi-umbian... hus!! ngawur!!!)
Rizal diambil dari salah satu ayat Al-Qur'an yang artinya Laki-laki. Nah disini nih bingungnya, nama "Rizal" itu masuk bagian yang mana?

Nama adalah Doa? Kayaknya gak mungkin banget deh, soalnya q jelas-jelas Laki-laki dari lahir. Buat apa ortu doain ku jadi Laki-laki kalo aku dari lahir emang udah Laki-laki?

Nama Adalah Penanda? ini juga gak beres. Antara Laki-laki dan Perempuan sudah punya "Penanda" yang jelas!

Kalo sekedar iseng malah gak mungkin banget!!Lha terus??

- Bersambung di episode berikutnya -

Ada Apa Dengan Kopi?

Benda ini cukup unik bagiku karena banyak orang yang membicarakannya, banyak orang yang dihantuinya atau malah diperbudak olehnya dan saat ini semakin banyak yang berguru darinya (termasuk aku). Setiap sudut selalu penuh sesak oleh pantat-pantat yang enggan bergeser sebelum mendapatkan dan menikmati ke”khas”annya. Kehadirannya pun tak pernah diperhitungkan, tapi sangat diharapkan, walaupun hanya beberapa saat untuk dinikmati kemudian diacuhkan lagi.

Stereotype tentangnya dulu yang lekat dengan image “mbah-mbah”, kini mulai bergeser dan malah menjadi trend bagi semua golongan umur. Para dokter ahli pun kini mulai banyak mempublikasikan temuan-temuannya tentang benda ini (kenapa dulu kok enggak ya? Apakah para dokter juga melakukan penelitian sesuai trend? Haha.. boleh juga kok, dokter juga boleh gaul kan?). Karena saking uniknya, sampai-sampai ada seorang penulis mencoba berfilosofi dengan benda ini wakakakak... (lebih aneh lagi kayaknya). Lebih anehnya lagi, aku juga tergoda untuk sekedar mengabadikan benda ini dalam sebuah tulisan Wuakakakaka... akhirnya aku sepakati saja kalau memang semuanya harus serba aneh hehehe...

Pekatnya warna hitam melambangkan sebuah kedalaman dan kekhusyu’an padanya. Setiap orang membutuhkan kepekatan ini, baik dalam berkomunikasi pada Tuhan masing-masing, atau untuk bertransisi menjadi lebih baik (katanya orang-orang).

Lihatlah orang-orang yang dengan kekhusyu’annya berkomunikasi dengan Tuhan, mereka tak peduli dengan apa yang mereka miliki saat itu. Yang kaya tetap memohon diberi rizki agar bisa lebih banyak membantu yang belum mentas dari kemiskinan, yang miskin juga seperti itu. Bila saja rizki itu dilimpahkan pada salah satunya, maka hanyalah keinginan untuk berbagi yang mereka wujudkan. Orang-orang yang seperti itulah yang akan menemukan keindahan pada sebuah kedalaman berpikir, kekhusyu’an berkomunikasi dengan Tuhannya, dan ketulusan berbagi dengan sesamanya. Karena mereka tahu bahwasanya darimana asal mereka dan akan kemana tujuan mereka.

Kepekatan sang hitam, yaitu: laku konsentrasi, pengendalian diri, pemudharan (kebebasan batin dari dunia inderawi), menguasai ngelmu sejati dan tahu hakikat hidup. Kedalaman dan kekhusyu’an sang hitam merupakan suatu perwujudan sikap manembah. Manembah adalah menghubungkan diri secara sadar, mendekat, menyatu dan manunggal dengan Tuhan. Menurut pandangan kejawen, pada hakekatnya, manusia sangat dekat dengan Tuhan. Hanya karena ulah dan tindakan manusia itu sendiri, suatu ketika, jarak antara Tuhan dan manusia menjadi sangat jauh atau ada batasnya. Ini menjadi tugas manusia untuk senantiasa mendekat dan atau menyatu dengan Tuhan agar mendapat anugerahNya. Manunggaling kawula Gusti merupakan suatu pengalaman dan bukan suatu ajaran. Pengalaman ini bisa terjadi secara subjektif atau dalam bentuk kolektif.

Sebelum kita lanjutkan pembahasan ini, mari kita "seruput" kopi yang telah dihidangkan, mumpung masih panas. Sempatkan menarik nafas panjang setelah itu, dan mari kita lanjutkan.

Coba rasakan pahit dan manis yang tersisa pada lidah kita. Bukankah itu pahitnya bubuk kopi dan manisnya gula? iya! seperti halnya hidup ini, ada pengalaman pahit dan manis, ada hitam dan putihnya dunia. Secara alamiah manusia sudah terbekali kemampuan untuk membedakan perbuatan benar dan salah serta perbuatan baik dan buruk. Pemilihan yang benar dan baik saja tidaklah cukup untuk memandu setiap individu dalam berintegrasi dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat. Seperti halnya kita minum kopi saja tanpa gula, atau minum gula saja tanpa kopi. hahaha... minuman yang aneh!

Kalau kita lebih cermat lagi mengamati "si hitam" ini, arah putaran tangan seseorang yang sedang mengaduk kopi adalah sesuai dengan tangan yang digunakan. Seseorang yang memakai tangan kanan, pasti akan mengaduk kopi ke arah kanan. Orang yang menggunakan tangan kirinya untuk mengaduk kopi, maka arah adukannya adalah ke arah kiri.

Dari hal tersebut saya bisa mengambil hikmah bahwasanya sesuatu yang diawali dengan niatan yang baik, maka arah perputarannya-pun juga akan baik sesuai dengan niatan awalnya. Urusan hasil? bukan urusan kita, itu sudah hak prerogatif Tuhan Yang Maha Esa.

Waduh ngomong-ngomong kopi saya keburu dingin nih, kapan-kapan kita sambung lagi, oyi??