Rabu, 17 September 2008

Maaf...

Cukup panas memang, pantulan terik matahari dari aspal berdebu seakan mencoba menguliti wajahku. Ributnya suara teriakan para jukir, dan lengkingan peluit mereka seakan menambahkan romantisme kacaunya suasana pasar siang hari ini.

Tak kusangka bisa kembali lagi ketempat ini, dalam keributan yang telah kusumpahi untuk kutinggalkan, dan dalam kesepian diantara canda tawa orang-orang asing yang tak pernah kukenal. 20 tahun yang lalu atau tepatnya 20 tahun 4 bulan 2 hari 12 jam terakhir aku disini. Benar-benar kuingat sampai kapanpun saat itu, saat ku putuskan untuk tidak kembali lagi kesini. Masih kuingat wajah-wajah mereka yang mencaci-maki, tangan-tangan gempal yang mendarat diwajahku, ribuan sorot mata yang murka padaku, dan… ya.. yang paling kuingat adalah dia yang membawa satu botol bensin lengkap dengan korek apinya. “bakar saja dia hidup-hidup!!” teriakan dia saat itu, benar-benar masih terpatri didalam ingatanku. Dengan tubuhnya yang kurus, kumis tipis, peci hitam dan baju taqwa yang biasanya dipakai sembahyang dia mencoba menjadi Tuhan dalam hidupku. Seakan-akan dia adalah malaikat maut yang siap mencabut nyawaku kapan saja.

Dalam keadaan benar-benar diujung maut, aku masih sempat untuk menghafal wajahnya dan mencoba bergumam dalam hati “apakah dia benar-benar akan menjadi malaikat maut?” masih sempat pula aku berargument dengan pikiranku sendiri “pantaskah orang-orang yang seperti itu memperlakukanku dan berteriak seperti itu?”, otakku benar-benar tak mau diajak untuk berhenti bertanya dan berkompromi, seakan sepersekian detik mulai teringat lagi dengan apa yang diungkapkan oleh Nietsche “disekeliling seorang pahlawan, segala sesuatu menjadi tragedy, disekeliling manusia setengah dewa segala sesuatu menjadi drama satir, dan disekeliling Tuhan segala sesuatu menjadi-apa menurutmu? Mungkin dunia?” ku coba menjawabnya juga dengan apa yang Nietsche tuliskan pula “Yesus berkata pada orang-orang yahudi: ‘hukum dimaksudkan bagi para pelayan, cintai Tuhan seperti aku mencintainya, sebagai anaknya! Jadi apa urusan kita, anak-anak Tuhan, dengan Moralitas!” semakin gelap rasanya, pukulan bertubi-tubi yang mendarat ditubuhku sekarang seakan tak terasa, hanya gelap dan melayang.. akankah menjadi sebuah tragedy? Drama satire? Atau dunia?

Yang ku tahu aku baru bangun dari tidur panjangku disebuah rumah mewah ini. Saat pertama kali kubuka mataku, yang kulihat hanyalah seorang nenek tua dengan wajah yang kusut mencoba tetap tersenyum padaku. Tak pernah kukenal dia dan kuyakin dia juga baru mengenalku disaat aku tak sadarkan diri. Senyumnya begitu hangat, sehangat handuk kecil yang ditempelkan di dahiku. Entah berapa lama kupandangi senyum yang sampai saat ini masih menjadi senyum terindah setelah senyum ibuku. Setelah menaruh sapu tangan itu didahiku, dia memijiti tangan dan kakiku berulang-berulang sampai aku tertidur lagi. Selama beberapa minggu aku berada disana sampai pada minggu ke-4 ku putuskan untuk pamit. Seakan tak rela dia melepasku, sebuah pelukan erat mendarat ditubuhku cukup lama dan tak kusadari dadaku basah oleh air mata sucinya. “nek, rizal pamitan dulu ya?” senyuman indah itu kudapati lagi untuk yang terakhir kalinya.

Masa lalu yang cukup indah sekaligus pahit ditempat ini. Setelah kucoba melihat sekeliling, kuberanikan diri untuk membuka helm dan beranjak dari motor hitam mulus kesayanganku. Dengan seksama kuhirup udara panas dan bau tai kuda yang berasal dari sudut pasar, ”hmm.. masih seperti dulu” gumamku. Secara visual memang semuanya sudah berubah, tapi tidak untuk beberapa hal yang tak kasat mata. Si mbok penjual kopi memang tak lagi sibuk menghidangkan pesanan pelanggannya, kini dia hanya duduk sembari sekali-sekali ngomel-ngomel kemudian meringis dan akhirnya menangis, sepertinya kini dia sudah tak waras. Hanya tarmi yang dari dulu selalu setia merawat dan menemani dia. Kini tarmi tumbuh dewasa, gerak-gerik dan rayuannya benar-benar mirip dengan gaya si mbok yang dulu. ”tambah lagi ya mas? Kalo nambah, nanti tak kasih bonus” seperti itulah jurus andalan mbok dimasa warasnya dulu, kemudian para pelangganpun menyahut ”ya wis, egolane ojo lali lho yo...” yah.. laki-laki, masih saja dan sampai kapanpun akan seperti itu.

Kuambil salah satu tempat duduk yang tidak biasa kududuki, karena tempat paling favoritku di masa lalu, kini ditempati si mbok. ”bulik tarmi, kopi 1 ya” celotehku sesaat setelah kujenakkan tubuhku, kemudian tarmi menyahut dan memandangiku dengan curiga ”e..ee.. ya mas”. Hehehe... pasti dia terkejut mengapa ada seorang asing yang seenaknya memanggil dengan nama ”Tarmi”, karena Tarmi lebih terkenal dengan nama ”Mawar”. Tidak salah juga orang-orang yang sering memanjakan pantatnya di warung kopi si mbok, memanggil Tarmi dengan nama ”Mawar”. Parasnya yang cantik, senyuman khas ala gadis desa, dan sikap ramah tamahnya seakan membius semua pelanggan yang ada disini.

Sempat juga aku ungkapkan perasaanku ke Tarmi, tapi hanya senyuman yang kudapat. Pusing juga sih dengan jawaban itu, sebagai seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta padanya, senyuman itu kuanggap sebagai sebuah jawaban ”ya”, dan akhirnya kujalani semua layaknya orang lagi pacaran, tapi... selang waktu membimbing pikiranku untuk me re-konstruksi lagi apa yang kualami dan kurasakan saat itu dengan saat ini, yah ternyata jawaban darinya ternyata tidak sesuai dengan yang kuharapkan, dan akhirnya kuputuskan untuk mengubah pola pikirku untuk sekedar mengaguminya, masuk akal kan? Banyak yang tidak setuju dan banyak yang menganggapku terlalu mudah putus asa dalam hal mendapatkan cintanya, tapi... dasar manusia!!! Sok tau dan sebegitu mudahnya menilai orang lain!!! Apakah kalian tau kenapa dunia ini semakin kacau balau dengan tuntutan-tuntutan, teriakan-teriakan, dan darah yang tercecer sia-sia? Itu semua karena manusia sok menjadi Tuhan, manusia terlalu mudah menilai sesamanya, dan terlalu mudah menganggap orang lain remeh. Tapi biarlah semuanya menilaiku seperti apa, yang jelas aku lebih tau tentang diriku daripada mereka, dan itu hanyalah masa laluku dengan Tarmi.

Siang ini cukup bebal. Sebebal pikiranku tentang masa lalu. Hati kecilku menangis pedih, sepedih tangisan si mbok gila yang sedari tadi tertawa dan menangis sesuka hati tanpa sebab. Aku ingin sepeerti si mbok, menangis sepuasnya tanpa peduli orang lain mengataiku cengeng atau lebih parahnya mengataiku gila. Tapi kenapa aku masih malu? Apaka rasa malu ini karena aku masih waras? Hmm... kurasa tidak juga, toh sebenarnya orang gilapun ya waras, bahkan lebih waras dari kita-kita yang ngaku-ngaku waras. Sodoran kopi dan celetukan Tarmi menggangguku ”Kopinya Mas..” ehem.. terasa sejuk suara Tarmi. Aroma kopi ini cukup mantap. Aku heran, mengapa Tarmi sebegitu mudahnya melupakan aku? Apakah dia benar-benar lupa, sehingga tak sedikitpun memori tentangku di hati dan kepalanya? Atau jangan-jangan ada Frankenstein yang sengaja dia datangkan untuk mengorek dan menguliti sisa-sisa cintaku yang dulu telah kugoreskan? Atau malh Tarmi sendir yang jadi Frankenstein? Ah.. masa bodoh, yang penting aku telah pernah mencintainya, dan srrruuppp... kopi hangat membawa sedikit nikmat nan khidmat bagi hati yang berkarat.

”Masio wis puluhan taun kowe ninggal aku, aku sik eling, eling bosokmu masio aleman” ceracau si mbok membuat geli dan miris para pelanggan yang sedang menikmati kopi di warungnya. Salah satu tukang becak yang kebetulan sedang membeli rokok eceran disana, mencoba menanggapi ceracau si mbok ”omongane kok pancet ae?” sambil menggariskan telunjuk di dahinya. Si mbok kembali ngelindur, tapi dengan nada yang lebih tinggi ”kowe pancen dudu anakku, tapi kowe nyusu aku pas kowe wis jembuten” lagi-lagi ceracau si mbok disambut tawa kecil para pelanggan, ”saumpomone tanggane ora krungu bengoke anakku pas awan-awan iku, paling kowe yo wis nyusu marang anakku pisan!”... semua pelanggan semakin terbahak, kemudian si tukang becak tadi menyahut lagi ”wah yo gelem aku lek nyusu anake panjenengan” sambil melirik Tarmi.... dan gelak tawa pun menggelegar semakin keras dalam kesepian batinku, batin Tarmi, dan Batin si Mbok.