Rabu, 17 September 2008

Maaf...

Cukup panas memang, pantulan terik matahari dari aspal berdebu seakan mencoba menguliti wajahku. Ributnya suara teriakan para jukir, dan lengkingan peluit mereka seakan menambahkan romantisme kacaunya suasana pasar siang hari ini.

Tak kusangka bisa kembali lagi ketempat ini, dalam keributan yang telah kusumpahi untuk kutinggalkan, dan dalam kesepian diantara canda tawa orang-orang asing yang tak pernah kukenal. 20 tahun yang lalu atau tepatnya 20 tahun 4 bulan 2 hari 12 jam terakhir aku disini. Benar-benar kuingat sampai kapanpun saat itu, saat ku putuskan untuk tidak kembali lagi kesini. Masih kuingat wajah-wajah mereka yang mencaci-maki, tangan-tangan gempal yang mendarat diwajahku, ribuan sorot mata yang murka padaku, dan… ya.. yang paling kuingat adalah dia yang membawa satu botol bensin lengkap dengan korek apinya. “bakar saja dia hidup-hidup!!” teriakan dia saat itu, benar-benar masih terpatri didalam ingatanku. Dengan tubuhnya yang kurus, kumis tipis, peci hitam dan baju taqwa yang biasanya dipakai sembahyang dia mencoba menjadi Tuhan dalam hidupku. Seakan-akan dia adalah malaikat maut yang siap mencabut nyawaku kapan saja.

Dalam keadaan benar-benar diujung maut, aku masih sempat untuk menghafal wajahnya dan mencoba bergumam dalam hati “apakah dia benar-benar akan menjadi malaikat maut?” masih sempat pula aku berargument dengan pikiranku sendiri “pantaskah orang-orang yang seperti itu memperlakukanku dan berteriak seperti itu?”, otakku benar-benar tak mau diajak untuk berhenti bertanya dan berkompromi, seakan sepersekian detik mulai teringat lagi dengan apa yang diungkapkan oleh Nietsche “disekeliling seorang pahlawan, segala sesuatu menjadi tragedy, disekeliling manusia setengah dewa segala sesuatu menjadi drama satir, dan disekeliling Tuhan segala sesuatu menjadi-apa menurutmu? Mungkin dunia?” ku coba menjawabnya juga dengan apa yang Nietsche tuliskan pula “Yesus berkata pada orang-orang yahudi: ‘hukum dimaksudkan bagi para pelayan, cintai Tuhan seperti aku mencintainya, sebagai anaknya! Jadi apa urusan kita, anak-anak Tuhan, dengan Moralitas!” semakin gelap rasanya, pukulan bertubi-tubi yang mendarat ditubuhku sekarang seakan tak terasa, hanya gelap dan melayang.. akankah menjadi sebuah tragedy? Drama satire? Atau dunia?

Yang ku tahu aku baru bangun dari tidur panjangku disebuah rumah mewah ini. Saat pertama kali kubuka mataku, yang kulihat hanyalah seorang nenek tua dengan wajah yang kusut mencoba tetap tersenyum padaku. Tak pernah kukenal dia dan kuyakin dia juga baru mengenalku disaat aku tak sadarkan diri. Senyumnya begitu hangat, sehangat handuk kecil yang ditempelkan di dahiku. Entah berapa lama kupandangi senyum yang sampai saat ini masih menjadi senyum terindah setelah senyum ibuku. Setelah menaruh sapu tangan itu didahiku, dia memijiti tangan dan kakiku berulang-berulang sampai aku tertidur lagi. Selama beberapa minggu aku berada disana sampai pada minggu ke-4 ku putuskan untuk pamit. Seakan tak rela dia melepasku, sebuah pelukan erat mendarat ditubuhku cukup lama dan tak kusadari dadaku basah oleh air mata sucinya. “nek, rizal pamitan dulu ya?” senyuman indah itu kudapati lagi untuk yang terakhir kalinya.

Masa lalu yang cukup indah sekaligus pahit ditempat ini. Setelah kucoba melihat sekeliling, kuberanikan diri untuk membuka helm dan beranjak dari motor hitam mulus kesayanganku. Dengan seksama kuhirup udara panas dan bau tai kuda yang berasal dari sudut pasar, ”hmm.. masih seperti dulu” gumamku. Secara visual memang semuanya sudah berubah, tapi tidak untuk beberapa hal yang tak kasat mata. Si mbok penjual kopi memang tak lagi sibuk menghidangkan pesanan pelanggannya, kini dia hanya duduk sembari sekali-sekali ngomel-ngomel kemudian meringis dan akhirnya menangis, sepertinya kini dia sudah tak waras. Hanya tarmi yang dari dulu selalu setia merawat dan menemani dia. Kini tarmi tumbuh dewasa, gerak-gerik dan rayuannya benar-benar mirip dengan gaya si mbok yang dulu. ”tambah lagi ya mas? Kalo nambah, nanti tak kasih bonus” seperti itulah jurus andalan mbok dimasa warasnya dulu, kemudian para pelangganpun menyahut ”ya wis, egolane ojo lali lho yo...” yah.. laki-laki, masih saja dan sampai kapanpun akan seperti itu.

Kuambil salah satu tempat duduk yang tidak biasa kududuki, karena tempat paling favoritku di masa lalu, kini ditempati si mbok. ”bulik tarmi, kopi 1 ya” celotehku sesaat setelah kujenakkan tubuhku, kemudian tarmi menyahut dan memandangiku dengan curiga ”e..ee.. ya mas”. Hehehe... pasti dia terkejut mengapa ada seorang asing yang seenaknya memanggil dengan nama ”Tarmi”, karena Tarmi lebih terkenal dengan nama ”Mawar”. Tidak salah juga orang-orang yang sering memanjakan pantatnya di warung kopi si mbok, memanggil Tarmi dengan nama ”Mawar”. Parasnya yang cantik, senyuman khas ala gadis desa, dan sikap ramah tamahnya seakan membius semua pelanggan yang ada disini.

Sempat juga aku ungkapkan perasaanku ke Tarmi, tapi hanya senyuman yang kudapat. Pusing juga sih dengan jawaban itu, sebagai seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta padanya, senyuman itu kuanggap sebagai sebuah jawaban ”ya”, dan akhirnya kujalani semua layaknya orang lagi pacaran, tapi... selang waktu membimbing pikiranku untuk me re-konstruksi lagi apa yang kualami dan kurasakan saat itu dengan saat ini, yah ternyata jawaban darinya ternyata tidak sesuai dengan yang kuharapkan, dan akhirnya kuputuskan untuk mengubah pola pikirku untuk sekedar mengaguminya, masuk akal kan? Banyak yang tidak setuju dan banyak yang menganggapku terlalu mudah putus asa dalam hal mendapatkan cintanya, tapi... dasar manusia!!! Sok tau dan sebegitu mudahnya menilai orang lain!!! Apakah kalian tau kenapa dunia ini semakin kacau balau dengan tuntutan-tuntutan, teriakan-teriakan, dan darah yang tercecer sia-sia? Itu semua karena manusia sok menjadi Tuhan, manusia terlalu mudah menilai sesamanya, dan terlalu mudah menganggap orang lain remeh. Tapi biarlah semuanya menilaiku seperti apa, yang jelas aku lebih tau tentang diriku daripada mereka, dan itu hanyalah masa laluku dengan Tarmi.

Siang ini cukup bebal. Sebebal pikiranku tentang masa lalu. Hati kecilku menangis pedih, sepedih tangisan si mbok gila yang sedari tadi tertawa dan menangis sesuka hati tanpa sebab. Aku ingin sepeerti si mbok, menangis sepuasnya tanpa peduli orang lain mengataiku cengeng atau lebih parahnya mengataiku gila. Tapi kenapa aku masih malu? Apaka rasa malu ini karena aku masih waras? Hmm... kurasa tidak juga, toh sebenarnya orang gilapun ya waras, bahkan lebih waras dari kita-kita yang ngaku-ngaku waras. Sodoran kopi dan celetukan Tarmi menggangguku ”Kopinya Mas..” ehem.. terasa sejuk suara Tarmi. Aroma kopi ini cukup mantap. Aku heran, mengapa Tarmi sebegitu mudahnya melupakan aku? Apakah dia benar-benar lupa, sehingga tak sedikitpun memori tentangku di hati dan kepalanya? Atau jangan-jangan ada Frankenstein yang sengaja dia datangkan untuk mengorek dan menguliti sisa-sisa cintaku yang dulu telah kugoreskan? Atau malh Tarmi sendir yang jadi Frankenstein? Ah.. masa bodoh, yang penting aku telah pernah mencintainya, dan srrruuppp... kopi hangat membawa sedikit nikmat nan khidmat bagi hati yang berkarat.

”Masio wis puluhan taun kowe ninggal aku, aku sik eling, eling bosokmu masio aleman” ceracau si mbok membuat geli dan miris para pelanggan yang sedang menikmati kopi di warungnya. Salah satu tukang becak yang kebetulan sedang membeli rokok eceran disana, mencoba menanggapi ceracau si mbok ”omongane kok pancet ae?” sambil menggariskan telunjuk di dahinya. Si mbok kembali ngelindur, tapi dengan nada yang lebih tinggi ”kowe pancen dudu anakku, tapi kowe nyusu aku pas kowe wis jembuten” lagi-lagi ceracau si mbok disambut tawa kecil para pelanggan, ”saumpomone tanggane ora krungu bengoke anakku pas awan-awan iku, paling kowe yo wis nyusu marang anakku pisan!”... semua pelanggan semakin terbahak, kemudian si tukang becak tadi menyahut lagi ”wah yo gelem aku lek nyusu anake panjenengan” sambil melirik Tarmi.... dan gelak tawa pun menggelegar semakin keras dalam kesepian batinku, batin Tarmi, dan Batin si Mbok.

Jumat, 22 Agustus 2008

yaitu : MATI

sebuah perjalanan seperti halnya perputaran waktu, pada satu sisi menetap pada porosnya dan pada sisi lainnya mencoba untuk menjauh dari titik awal perputaran itu sendiri.

secara sadar inginku menjauh dari pijakan awalku, akan tetapi sebuah keterikatan memaksa untuk tetap berpijak, dan akhirnya perjalanan inipun menjadi satu lingkaran yang utuh

bukankah perjalanan di setiap saat bida dimulai lagi walau telah beberapa jengkal kita langkahkan tapak pada lapak-lapak kehidupan?
akan tetapi perjalanan hanya bisa kita hentikan 1 kali saja, berhenti pada 1 : yaitu MATI

bukanlah keinginan akan suatu hal baru, bukan pula pasrah (Omengalir), tapi kini hanyalah sebuah langkah awal dari beberapa langkahku. tak perlu lagi kutangisi jejak langkah berdebu, cukuplah sudah sebuah lingkaran yang utuh hingga suatu saat akan berhenti pada 1 hal, yaitu : MATI

Kamis, 22 Mei 2008

Tien

Namaku Tien, mataku terlalu sipit untuk ukuran mata orang jawa, rambutku lurus menjuntai sampai mengecup tiap jengkal tanah yang aku lalui, dan luka yang sudah membusuk diantara jari-jari kakiku mengeluarkan bau anyir yang mungkin takkan pernah terbayangkan oleh semua orang.

Aku ingat dulu ibuku pernah mencoba untuk membawaku ke salah satu orang pintar untuk menyembuhkan luka-luka busuk ini, tapi sesampainya disana, orang pintar itu hanya bisa mengangkat tangan sambil sebentar-sebentar menutup hidungnya. Entah bau busuk dari mana yang membuatnya seperti itu; bau keringat yang keluar dari tubuhku atau bau anyir dari jari-jari kakiku.

Ibuku hanyalah seonggok batu karang yang tak lagi kokoh. Semua bagian tubuhnya pernah tersakiti, hampir tak ada yang tak pernah mendapat siksa dari ayah. Setiap kali dia pulang sedikit terlambat dari rumah juragan Santo, Ayahku tak segan mencabuti kuku-kuku jari tangan dan kaki ibuku dan sampai saat ini hanyalah sebagian kuku dibagian tengah jari kakinya yang masih tertanam rapi. Pernah suatu hari aku melihat kedua tangan dan kaki ibuku diikatnya, kemudian tubuh ibuku yang sedang telanjang bulat dibasahinya dengan minyak zaitun yang didapatnya dari Kang Jo salah satu copet yang sering beroperasi di terminal kotaku. Setelah itu dia memperlakukan ibuku seperti anjing, disuruhnya beliau dengan paksa untuk sedikit menyunggingkan pantatnya, Ibuku sempat menolak dan PLAK!!! Beliaupun kembali tak berdaya dan… Ah..! itu hanyalah masa lalu.

Namaku Tien, dadaku rata, tubuhku kurus, dan aku berjalan sedikit pincang. Malam ini luka busuk diantara jari-jari kakiku semakin terasa menggigit, dan bau keringat di tubuhku semakin menyengat. Jari-jari tanganganku berlumuran darah, begitu juga dengan bajuku yang kusut ini.

Sedikit demi sedikit kutapakkan kaki diatas butiran pasir pantai ini. Kedua tanganku serasa semakin lemah untuk menarik tali yang melingkar erat di leher ibuku. Aku melihat senyum beliau begitu anggun, nyaman, dan tenang. Benar-benar damai parasnya setelah aku berkali-kali menusukkan belati diantara kedua payudaranya yang dulu pernah menjadi penghidupanku.

“Sebentar lagi kita akan sampai bu!” ujarku
“golekan, kae golekane sapa, yen sira tansah dadi golek-golekan, ingsun engko entek mimis

piro…” nyanyian yang tak berirama keluar dari bibir sumbing Tien selalu mengiringi langkahnya menuju kebahagiaan. Lamat-lamat masih terdengar dari kejauhan dan akhirnya…

Kamis, 08 Mei 2008

Takdir Pendosa

Masih…! Ruang ini masih saja pengap. Desah manja 2 jam yang lalu tak pernah terusik dari telingaku. Remang lampu di kamar ini seremang harapku akan asa. Teriak kepuasan akan akhir desah yang terasah menjadi puja semua manusia.

Mungkin ini yang ketiga kalinya, aku melihat senyum puas dari orang yang berbeda dengan perlakuan yang sama. Sama-sama bernyanyi diantara selangkanganku berharap akan datangnya keakhiran dan…, ah mereka semua bodoh, mereka semua pengecut! Sebodoh kelaminku yang sekarang hanya bisa menganga tanpa selembar harapan yang menutup deritanya, benar-benar bodoh.

Dulu ketika aku masih berjalan diatas kedua tanganku, ibuku selalu bertanya akan cita-citaku dihari depan, “nanti kalau sudah besar mau jadi apa?” tanpa ragu aku menjawabnya… “jadi doktel” dan tanpa ragu pula ibuku menjawab dengan cedal pula “pintel” hahaha… kurasa terlalu cepat ibuku memberikan pujian seperti itu.

Kalau saja dia tahu keberadaanku sekarang yang sedang terlelap di dalam pelukan seorang lelaki keturunan arab itu, pasti ibu mempertanyakan lagi padaku “lho katanya jadi doktel kok malah jadi purel?” hahahaha pasti aku takkan pernah bisa menjawabnya, dan jika aku harus menjawabnya mungkin cukup dengan satu kata “takdir”.
“takdir” adalah sebuah jawaban yang paling tepat dan tak mungkin lagi untuk diperdebatkan.

Sungguh konyol dan tak masuk akal jika semua hal di dunia ini di kategorikan kedalam sebuah wacana “takdir”. Kurasa tak perlu lagi Tuhan, Malaikat, dan Nabi untuk menjalani hidup ini jika wacana itu benar-benar hadir dalam segala divisi kehidupan. Dan aku benar-benar yakin jika itu terjadi, maka semua orang didunia ini akan hidup damai menunggu sebuah takdir hidupnya (bodoh).

Aku mecoba bangkit dari tidurku, membuka selangkanganku yang penuh dengan harapan semu akan puja semua manusia…. Dan mungkin hanya bisa meratap pada-Nya…
“kalau memang ini “takdir” Mu, maaf aku hanyalah seorang pendosa bagi Mu”
“bila ini hanyalah sebuah wacana “takdir”. Maaf aku akan segera pergi menjauh dari wacana ini dan senantiasa menggapai lentera ketulusan dan kejujuran demi kebaikan di akhir nanti”

Rabu, 23 April 2008

Sayat keheningan

Detik yang tak henti-henti berdetak semakin menyiksaku.
Kesunyian dimalam ini seakan mengorek kembali semua luka hati yang pernah menyayat perih lembar demi lembar kenangan masa lalu.

Aku dan semua mimpi-mimpi indah yang tak pernah terwujud nyata, kini terbaring lemah tak berdaya di peraduan.
Gurat nadi tertusuk aniaya khianat, lubuk hati terluka gelap pesakitan, dan darah segarpun mengaliri selang kecil perenungan.

Rintik hujan kini menemani detak nadiku, senandung malam nyanyikan kepedihan untukku, dan tawa para malaikat mencoba tenangkan gundahku.

Tuhan… kalau benar kau masih cintaiku,
benamkan seluruh masa laluku
kecup keningku tuk sekedar damaikan galauku
sandarkan kepalaku di dada-MU tuk lepaskan penatku
Amin….

Jumat, 18 April 2008

Hari '40

Malam ini…

Aku melihat setitik genangan air matamu mengering, menggores lengkung hitam dikantung embun pagi. Dengan kepala tertunduk, berbalut kain cantik kerudung putih, kau sembunyikan kesedihanmu dari mereka yang hanya bisa beristighfar dan tahlil, yang ujung=ujungnya berakhir dengan tangan diatas perut masing-masing lalu bersalaman sambil membersihkan kotoran yang ada di dalam rongga mulut mereka.

Malam ini…

Kau pasti teringat akan kisah yang tlah tergores, saling beranyam menjalin suatu peristiwa, dan takkan pernah terlupa. Waktu itu ketika kita saling melingkarkan jari kelingking serta mengikat janji mentari yang terpatri diladang bisu. Kau pernah berucap manis, semanis lipatan pita diatas sebuah alas kado yang bertuliskan “Hanya untukmu”

Ujarmu pasti akanku…

Rembulanpun hanya bisa sembunyikan tangannya dibalik kemilau bintang yang gemerlapan, suatu pertanda betapa senangnya mereka melihat dua bintang terduduk damai dalam satu ikatan janji mentari yang terpatri di ladang bisu.

Masih saja…

Kulihat bayang kelam penutup angan diputihnya nurani yang suci. Kau coba angkat wajahmu setegar harapan kita akan sinar mentari esok pagi, tapi masih saja kegelapan itu menari-nari diwajahmu seakan mereka tertawa terbahak menatap gores luka itu yang semakin dalam pada setiap detiknya.

Serasa berat langkahmu disini…

Semakin kuat inginmu tuk langkahkan sebuah ratapn, maka semakin berat pula inginmu tuk tinggalkanku dalam keabadian yang tertanam disini 40 hari yang lalu.

THR

Brak….!!!
“Sudah berapa kali saya bilang, kalau sedang meeting jangan melamun dan ngomel sendiri”
Dengan mata dan wajah suntuknya Pak Bos mencoba merusak lamunan indah saya lagi. Dia memang terkenal paling garang di perusahaan ini, kalau lihat postur dan tampangnya sih… saya kira semua orang gak bakal nyangka dia bisa segalak anjing galak yang paling galak. Tubuh ceking, Rambut klimis, dan gerak-gerik gemulainya seakan berubah 180 derajat ketika dia menyalak.
“mmm… maaf, saya paling tidak suka kalau ada orang yang mengacuhkan semua omongan saya”
masih dengan sorot mata dan wajah suntuknya Pak Bos mengkondisikan kembali suasana meeting hari ini.
“mungkin lebaran 2 minggu lagi akan menjadi lebaran yang paling bahagia bagi kalian semua, setelah kita semua melewati beberapa kali lebaran tanpa libur dan THR”
terang pak bos yang disambut dengan gegap gempita para peserta meeting.
“untuk lebaran kali ini Perusahaan mengambil kebijakan sesuai dengan tuntutan kalian semua, yaitu adanya Tunjangan Hari Raya sebesar 2 kali lipat dari gaji bulanan, 1 minggu libur sebelum dan sesudah Hari Raya, dan pengangkatan pegawai kontrak yang mempunyai dedikasi selama tiga tahun lebih disini untuk menjadi Pegawai tetap Perusahaan”
suasana kembali riuh. Maklum selama tiga tahun saya bekerja, seluruh pegawai yang ada disini mengeluhkan ketiga hal itu.
“masak mas, saya ini kerja jadi satpam mulai dari berdirinya perusahaan ini sampai sekarang, saya gak pernah dapat tunjangan mmm… paling banter ya… dikasih parcel”
ujar salah satu satpam di perusahaan ini
Lebaran kali ini serasa berbeda dari lebaran 2 tahun yang lalu. Sengaja aku meninggalkan ibuku yang sudah renta dikampung sendirian. Dia bagaikan malaikat tercantik yang kumiliki. Ibu bisa menahan rasa lapar diperutnya sampai beberapa hari hanya agar perutku ini bisa kenyang. Entah mengapa selama 22 tahun aku mengganggap itu semua adalah hal yang lumrah bagiku, mungkin karena itu merupakan konsekuensi dia sebagai seorang Ibu. 3 tahun yang lalu disuatu malam aku memergoki ibuku memungut sisa makanan yang kubuang karena sudah basi dia pasti sudah tak kuat lagi menahan rasa lapar yang melilit perutnya. Aku ingat… malam itu sebelum aku memakan makanan itu aku sempat menawari ibu untuk makan bersama, tapi dia menjawab dengan kekeh tawanya
“apa kamu gak liat perut ibu ini”
sambil memperlihatkan perutnya yang mungkin sengaja dia busungkan agar terlihat seperti orang yang sedang kekenyangan. Aku serasa ditampar oleh batinku, aku seperti mendengar sesuatu yang berbisik lirih
“lihat…lihat!! itu… kenapa kau masih disini, coba kalau tidak ada disini, dirumah ini, pasti ibumu takkan melakukan hal itu karena makanan yang biasanya masuk keperutmu itu bisa untuk mengenyangkan perut Ibumu sampai beberapa hari”.
Semenjak kejadian itu aku memutuskan untuk pergi dari rumah, keluar kampung mengadu nasib di kota lain. Hanya air mata suci seonggok malaikat cantik yang mengiringi langkahku saat meninggalkan kampung. Dan... berkat doanya pula aku bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan.
Aku tak bisa membayangkan betapa gembiranya Ibu ketika aku pulang besok mmm… kira-kira 2 hari lagi aku pulang… ya tepatnya 52 jam lagi! Ha..ha… orang-orang kampung yang dulunya mencemooh, memandangku picik, dan menganggapku sebagai anak durhaka pasti takkan bisa berkata apa-apa atau bahkan bisa-bisa mereka bertekuk lutut dihadapanku hanya untuk minta maaf atas kejadian dimasa lalu. Dasar orang-orang kampungan bodoh!!!
“ooohh… malaikat cantikku! Lihatlah anak semata wayangmu ini, kini sudah jadi orang sukses! Pulang tidak dengan kepala tertunduk. Anakmu semata wayang yang dulu menjadi beban bagimu, kini pulang untuk menebus semua air susu, keringat, dan ketabahanmu!”
Nanti setibanya dirumah, barang-barang mewah yang kukumpulkan dari upahku selama ini bakal aku berikan kepada Ibuku didepan orang-orang, kalau perlu perlahan-perlahan biar tersayat perih wajah mereka… semakin perlahan… akan semakin perih!! Ha…ha… benar-benar tak bisa kubayangkan semua ini
Sepertinya Tuhan benar-benar membalas semua doa Ibu dan doaku. DibukaNya pintu rahmat selebar-lebarnya untuk kita berdua di bulan Ramadhan ini. Maaf bila aku dulu terlalu pesimis terhadapMu, aku menganggapMu terlalu egois… Kau maha kaya! Tapi kenapa tak kau berikan secuil saja untukku dan Ibu… itu dulu. Tapi kini semuanya telah berubah, aku tahu apa yang Kau inginkan dengan cara seperti itu. Terima kasih Tuhan!
Malam ini rintik hujan serasa tebal menampar wajahku, langkahku menuju pelataran rumah seakan berat karena sepatuku basah kemasukan air. Nyanyian angin dan serak dedaunan yang tersapu angin menjadi ucapan selamat datang bagiku. Malam ini adalah malam dimana aku akan bertatap muka dengan ibuku, memberikan kecup hangat, dan pelukan yang tertunda selama beberapa tahun. Bukan riang lagi yang mengiring langkahku, tapi tangisan sakit serasa menusuk-nusuk didada ini.
Dengan pasti kubimbing tali itu mengitari leherku dan hanya lompatan kecil yang akhirnya akan mengantarku untuk menemui Ibu.
“anakmu pulang Bu! Anakmu akan segera menjemputmu dengan kebanggaan yang kau harapkan sebelum melepasku”
Jose Rizal