Kamis, 22 Mei 2008

Tien

Namaku Tien, mataku terlalu sipit untuk ukuran mata orang jawa, rambutku lurus menjuntai sampai mengecup tiap jengkal tanah yang aku lalui, dan luka yang sudah membusuk diantara jari-jari kakiku mengeluarkan bau anyir yang mungkin takkan pernah terbayangkan oleh semua orang.

Aku ingat dulu ibuku pernah mencoba untuk membawaku ke salah satu orang pintar untuk menyembuhkan luka-luka busuk ini, tapi sesampainya disana, orang pintar itu hanya bisa mengangkat tangan sambil sebentar-sebentar menutup hidungnya. Entah bau busuk dari mana yang membuatnya seperti itu; bau keringat yang keluar dari tubuhku atau bau anyir dari jari-jari kakiku.

Ibuku hanyalah seonggok batu karang yang tak lagi kokoh. Semua bagian tubuhnya pernah tersakiti, hampir tak ada yang tak pernah mendapat siksa dari ayah. Setiap kali dia pulang sedikit terlambat dari rumah juragan Santo, Ayahku tak segan mencabuti kuku-kuku jari tangan dan kaki ibuku dan sampai saat ini hanyalah sebagian kuku dibagian tengah jari kakinya yang masih tertanam rapi. Pernah suatu hari aku melihat kedua tangan dan kaki ibuku diikatnya, kemudian tubuh ibuku yang sedang telanjang bulat dibasahinya dengan minyak zaitun yang didapatnya dari Kang Jo salah satu copet yang sering beroperasi di terminal kotaku. Setelah itu dia memperlakukan ibuku seperti anjing, disuruhnya beliau dengan paksa untuk sedikit menyunggingkan pantatnya, Ibuku sempat menolak dan PLAK!!! Beliaupun kembali tak berdaya dan… Ah..! itu hanyalah masa lalu.

Namaku Tien, dadaku rata, tubuhku kurus, dan aku berjalan sedikit pincang. Malam ini luka busuk diantara jari-jari kakiku semakin terasa menggigit, dan bau keringat di tubuhku semakin menyengat. Jari-jari tanganganku berlumuran darah, begitu juga dengan bajuku yang kusut ini.

Sedikit demi sedikit kutapakkan kaki diatas butiran pasir pantai ini. Kedua tanganku serasa semakin lemah untuk menarik tali yang melingkar erat di leher ibuku. Aku melihat senyum beliau begitu anggun, nyaman, dan tenang. Benar-benar damai parasnya setelah aku berkali-kali menusukkan belati diantara kedua payudaranya yang dulu pernah menjadi penghidupanku.

“Sebentar lagi kita akan sampai bu!” ujarku
“golekan, kae golekane sapa, yen sira tansah dadi golek-golekan, ingsun engko entek mimis

piro…” nyanyian yang tak berirama keluar dari bibir sumbing Tien selalu mengiringi langkahnya menuju kebahagiaan. Lamat-lamat masih terdengar dari kejauhan dan akhirnya…

Kamis, 08 Mei 2008

Takdir Pendosa

Masih…! Ruang ini masih saja pengap. Desah manja 2 jam yang lalu tak pernah terusik dari telingaku. Remang lampu di kamar ini seremang harapku akan asa. Teriak kepuasan akan akhir desah yang terasah menjadi puja semua manusia.

Mungkin ini yang ketiga kalinya, aku melihat senyum puas dari orang yang berbeda dengan perlakuan yang sama. Sama-sama bernyanyi diantara selangkanganku berharap akan datangnya keakhiran dan…, ah mereka semua bodoh, mereka semua pengecut! Sebodoh kelaminku yang sekarang hanya bisa menganga tanpa selembar harapan yang menutup deritanya, benar-benar bodoh.

Dulu ketika aku masih berjalan diatas kedua tanganku, ibuku selalu bertanya akan cita-citaku dihari depan, “nanti kalau sudah besar mau jadi apa?” tanpa ragu aku menjawabnya… “jadi doktel” dan tanpa ragu pula ibuku menjawab dengan cedal pula “pintel” hahaha… kurasa terlalu cepat ibuku memberikan pujian seperti itu.

Kalau saja dia tahu keberadaanku sekarang yang sedang terlelap di dalam pelukan seorang lelaki keturunan arab itu, pasti ibu mempertanyakan lagi padaku “lho katanya jadi doktel kok malah jadi purel?” hahahaha pasti aku takkan pernah bisa menjawabnya, dan jika aku harus menjawabnya mungkin cukup dengan satu kata “takdir”.
“takdir” adalah sebuah jawaban yang paling tepat dan tak mungkin lagi untuk diperdebatkan.

Sungguh konyol dan tak masuk akal jika semua hal di dunia ini di kategorikan kedalam sebuah wacana “takdir”. Kurasa tak perlu lagi Tuhan, Malaikat, dan Nabi untuk menjalani hidup ini jika wacana itu benar-benar hadir dalam segala divisi kehidupan. Dan aku benar-benar yakin jika itu terjadi, maka semua orang didunia ini akan hidup damai menunggu sebuah takdir hidupnya (bodoh).

Aku mecoba bangkit dari tidurku, membuka selangkanganku yang penuh dengan harapan semu akan puja semua manusia…. Dan mungkin hanya bisa meratap pada-Nya…
“kalau memang ini “takdir” Mu, maaf aku hanyalah seorang pendosa bagi Mu”
“bila ini hanyalah sebuah wacana “takdir”. Maaf aku akan segera pergi menjauh dari wacana ini dan senantiasa menggapai lentera ketulusan dan kejujuran demi kebaikan di akhir nanti”