Sabtu, 07 Februari 2009

Tahun 15

Teriknya semakin menambah kekeringan hati lelaki tua itu. Sendiri termenung diantara kebisingan lalu-lalang derit suara kopor dan sepatu para penjaja jasa. Tak pernah terbayang sekalipun dalam benak lelaki berjenggot itu untuk sejenak melupakan kisah indahnya yang telah lama mati. Dengan sedikit menyipitkan mata, dia mencoba memastikan detak-detak detik jarum jam untuk tetap berdetak dan berdetik.

“Perhatian, perhatian…! Kereta Api dari Surabaya. Jurusan Surabaya-Malang akan segera datang. Bagi para calon penumpang jurusan Surabaya-Malang diharap segera bersiap-siap dijalur 2. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih” Laki-laki tua itu segera beranjak dari duduk dan tak segan Dia berjejal dengan orang lain yang lebih muda darinya. “Priitt...!” tak lama kemudian puluhan orang yang berjejal dengan lelaki itu sudah berada di dalam kereta. Dipandanginya setiap pintu keluar kereta, sesekali dia berjalan dengan sedikit langkah yang dipercepat menuju gerbong yang paling barat dan… akhirnya dia kembali lagi dengan langkah lebih lambat dari biasanya. Diusapnya peluh yang membasahi leher keriput itu perlahan. Suasana disekitarnya kembali sepi, para penumpang sudah masuk ke dalam kereta, sedangkan orang-orang yang turun dari kereta sudah tak ada lagi. Lelaki itu kembali terduduk dalam kekeringan batin dan kisah-kisah indahnya yang telah lama mati.

“Koran pak…!” lelaki tua itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ternyata diantara kekeringan batinnya, dia masih bisa tersenyum walau mungkin itu cukup berat. Matanya mulai sedikit terkatup, usia berkepala lima yang menggelayuti hidup lelaki itu sudah tak lagi kuat untuk sejenak memendarkan mata. Detik-detik masih tetap berdetak, derit kopor para penumpang dan derap para penjaja jasa juga masih tetap berderik menusuk gendang telinga. Suasana di sekitar masih tetap, atau mungkin lebih tepatnya sedikit sekali mengalami perubahan. Mbok jail masih tetap dengan TTS-nya, Yu Sri masih berdendang dihadapan para penumpang, Tole masih saja menggoyangkan tubuhnya untuk sepericik harapan, dan lelaki itu sudah…

“Sak welase pak…!” Dia terbangun dari tidurnya, dengan sedikit terengah karena terkejut, dan kemudian mengambil dua keping logam seratusan rupiah untuk anak kecil pembatas mimpinya beberapa detik yang lalu. Tanpa disadari hari sudah gelap dan Dia segera beranjak pulang mempersiapkan segalanya untuk hari esok.

Keesokan harinya “tahun lima belas, hari ketiga” lelaki itu memulai rutinitasnya di dalam stasiun ini pada tempat yang tidak bergeser sama sekali dari posisi duduk yang kemarin. “hari ini…hari ketiga, tahun lima belas untukku tetap berharap. Yang dulu berbatas angan tanpa gaung takbir, yang dulu berdenting tranpa dengung, dan yang dulu berkini-kini tanpa esok pagi” gumam lelaki itu. Mbok Jail yang sedari tadi sibuk dengan TTS-nya tersontak kaget mendengar celoteh yang baru saja mendarat tepat dilubang pendengarannya. Mbok Jail-pun segera membangunkan Tole yang tertidur dipangkuannya, “le…tole… tangio le! Heh.. ndang tangi!” sambil menggoyangkan tubuh Tole. “opo to mak?” tanya Tole dengan sedikit kesal. “iku lho, wong iku iso ngomong tiba’e le, dowo maneh ngomonge” jawab Mbok Jail dengan antusias. Tole yang tadinya malas untuk membuka lebar matanya, sekarang malah melotot setelah mendengar jawaban Mbok Jail. “mosok tho mak?” tanya Tole lebih antusias. “kon iku diomongi wong tuwo kok gak ngandel se?” jawab Mbok Jail. Tolepun mulai berdiri tegak. Setelah menggeliatkan badannya, dia sedikit berfilsafat “tapi lek tak pikir-pikir, iku dudu urusane awak dewe mak. Bah iso ngomong, bah sumbing urusane. Urusanku yo golek duit, urusane sampeyan yo ngekeki aku duit! Haha…” sambil berlari menjauh dari Mbok Jail. “oalah bocah saiki pancen mokong-mokong, yaopo-yaopo sing tuo yo dadi kalahan” sambil menatap lelaki itu.

Lelaki tua itu melemparkan senyuman kepada Mbok Jail, seolah-olah dia menyetujui apa yang baru saja dilontarkan Mbok Jail. Melihat hal itu Mbok Jail tambah kaget serasa tidak percaya dengan apa yang Dia lihat “Allahuakbar…!” sebuah kalimat pujaan yang sebenarnya tak biasa diucapkan kini benar-benar terlontar dari mulut Mbok Jail. Dengan sedikit berlari Mbok Jail mencari Tole untuk memberikan kabar tentang apa yang baru saja dia lihat. “le…tole…mrinio tho le…tak kandani…”

Tahun lima belas, hari empat. “kenapa? Masih seperti satu atau beberapa tahun yang lalu pada jam ini, tarikan nafas ini, detak nadi yang ini, gerakan tubuh ini, pada hari yang bukan ini.”

Tahun lima belas, hari 5. Mbok Jail yang beberapa hari ini selalu mengamati gerak-gerik lelaki itu, malah jadi kepincut. Dengan lagak yang sok cari-cari perhatian. Mbok Jail sampai rela berpura-pura jatuh lebih dari sepuluh kali sehari didepan laki-laki itu, hanya karena ingin melihat senyum tanggung yang khas dari sang Idola. “perhatian, perhatian…! Kereta api dari Surabaya. Jurusan Surabaya-Malang akan segera datang. Bagi para penumpang jurusan Surabaya-Malang dihartap segera bersiap-siap di jalur dua. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih” lelaki itu beranjak dari duduknya, seperti hari-hari yang lalu. Ia mengamati semua pintu keluar gerbong sambil berjejal dengan para penumpang lain. Lagi-lagi dia berlari kecil menuju gerbong yang paling barat dan lagi-lagi pula Dia kembali dengan langkah cukup berat. Seolah tak ada lagi gemerlap kunang di malam hari dan nyanyian penjual koran dihadapannya.

Tanpa sengaja lelaki itu menjatuhkan barang dagangan mbok Jail. “maaf, tidak sengaja” sambil tersenyum dan kemudian memunguti barang-barang Mbok Jail yang terjatuh. Mbok Jail hanya terdiam tak bisa berkata lagi, diremasnya kuat-kuat TTS digenggaman, serasa resah hatinya menatap lekat pada sang idola.

Tahun 15, hari enam. Lelaki itu masih diliputi bercak kepedihan dalam hatinya yang pernah tersayat dan takkan pernah terobati. “sampai kapan aku harus menunggu disini” gelisah hati memaksa batinnya berucap seperti itu.

“kalaupun hari ini masih saja aku belum mendapati secercah bayang, atau serpihan kalbu yang dulu pernah tinggalkanku disini. Mungkin aku akan semakin menyesali keberadaan Tuhanku yang setiap detiknya selalu kusebut” langit yang pekat dan petir yang berkelebat bersahutan dengan pasti, seolah menjadi sebuah titik takdir yang terlewat dalam akal budi manusia.

Langkah kaki itu tidak seperti hari-hari biasanya, ketika berjalan pulang menyiapkan segalanya untuk hari esok. Goresan-goresan wajah yang dalam, tangis perih dan sayatan dalam hidup lelaki tua itu seakan menjadikan sebuah titik takdir semakin menggelepar dihadap-Nya. Air mata yang mengalir deras diantara periuk harapan memastikan segalanya, menggambarkan sebuah penantian yang cukup melelahkan. “aku tercipta, aku diciptakan, akupun tenggelam”

Tahun 15, hari tujuh. Mbok jail kini hanya bisa terdiam. TTS yang selama ini selalu menjadi penghibur dikala sepi mengusiknya, kini beralih fungsi menjadi pengering air mata yang tak henti-hentinya mengalir

Selasa, 03 Februari 2009

Genjer-genjer

Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ nong kedok-an pating keleler (Di pematang, berserakan)/ Emak-e tole,teko-teko (Ibunya anak-anak, datang-datang)/ bubuti genjer (Mencabuti genjer)

Oleh sak tenong (Dapat sebakul)/ mungkor sedot (Lalu ngeloyor pergi)/ seng tole-tole (Dapat yang kecil-kecil)

Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ saiki wis digowo muleh (Sekarang sudah dibawa pulang)/ Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ isuk-isuk didol ning pasar (Pagi-pagi dijual di pasar)
Dijejer-jejer, diuntingi,
podo didasar (Dibariskan, diikat dan semua digelar)

Emak-e Jebreng (Ibunya Jebreng)/ podo tuku nggowo
welasan (pada beli membawa belasan ikat)

Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ saiki wis arep diolah (sekarang siap diolah)

Dari bait-bait diatas, sepertinya tak ada yang salah dengan diksi-diksinya jika kita memahami dengan objektif. Sebuah lagu yang mulai dikenal di Banyuwangi pada tahun 1960-an ini hanyalah sebuah lagu rakyat seperti halnya Ampar-Ampar pisang, Jali-jali, dll. Pada tahun 1963 lagu ini diaransemen oleh M.Arief, dan Sosok Bing Slamet-lah penyanyi yang memperdengarkan lagu ini kepada masyarakat melalui media elektronik Nasional (RRI dan TVRI). Tahun 1965 lagu ini tidak mendapatkan ijin lagi di perdengarkan kepada khalayak.

Beberapa cerita orang-orang yang saya temui, genjer-genjer adalah simbolisasi para petani dijaman itu. Para petani yang pada saat itu kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah di jaman Soekarno. Partai Komunis Indonesia (PKI) memanfaatkan momentum ini dengan menggalang basis kekuatan dari kalangan petani, dan cara inilah yang menjadikannya sebagai partai berbasis massa terbesar bersanding dengan Masyumi. Bayangkan saja PKI mempunyai 3 juta Anggota dan pendukung aktif sekitar 17 juta!!

Lambang Palu Arit hanyalah sebuah simbol kerakyatan, khususnya para petani. Mengapa saat ini harus menjadi simbolisasi yang cukup menakutkan? Berikut ini saya kutip sebuah paragraph dari cerita Mohammad Sobary yang berjudul Kang Sejo Melihat Tuhan

Namun, segala puji hanya bagi-Mu, darah tak menetes di desa
saya. Pak Lurah, biarpun pernah diancam PKI, melindungi
mereka. Prinsipnya semua saudara. Lagi pula, PKI di desa
saya cuma golongan cepethe. Pak Lurah sering bilang, mereka
cuma ikut-ikutan. Sebagian hanya senang karena tiap rapat
ada makan. Tahu apa mereka tentang politik?
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 6 Oktober 1990

Dari kutipan diatas kita bisa merasakan betapa polosnya para kaum tani. Yang mereka tau hanyalah sebuah harapan besar agar negaranya makmur, tapi mereka tak tau kemana kemakmuran sebuah negara yang tak sampai menyentuh kemakmuran “perut” rakyatnya. Pada saat seperti itu PKI dengan cerdiknya memberikan sesuatu yang kongkrit daripada sebuah harapan. Para petani diperhatikan. Para Pegawai Negeri yang ikut PKI juga mendapatkan gaji lebih besar daripada Pegawai Negeri yang tidak ikut PKI Untuk lebih mendekatkan diri pada rakyat kecil, PKI menelurkan beberapa lembaga seperti LEKRA. Lagu rakyat seperti genjer-genjer juga dikumandangkan untuk memberikan semangat bagi para petani disaat bekerja. Seolah-olah saat itu para petani yang sebelumnya “pating keleler” kini sudah diber-daya-kan lagi, seperti bait-bait “saiki wis digowo muleh”,”saiki wis arep diolah”,”podo didasar”,”saiki wis digowo muleh”,”isuk-isuk didol ning pasar”

Para petani sudah dibawa pulang oleh PKI, dibawa pulang menuju kesejahteraan yang lebih konkrit. Genjer-genjer secara nyata hanyalah salah satu jenis tumbuhan liar yang hidup di rawa-rawa dan sawah basah, tanah lumpur yang berair. Sesuatu yang bersifat liar kadang sangat militan dengan apa yang mereka yakini. Sifat inilah yang dijadikan titik temu antara ideologi PKI dan rakyat kecil (petani). Rawa-rawa, sawah basah dan tanah lumpur yang berair adalah Negeri kita Indonesia yang subur dan makmur. Ada apa dengan kemiskinan di sebuah Negeri yang subur?

Sebuah karya ibarat anak yang telah dilahirkan. Genjer-genjer adalah sebuah karya besar dari bapak yang tak pernah kita kenal. Bukankah pencipta lagu genjer-genjer disaat menciptakan tak pernah peduli dengan diksi-diksi yang berbau politis? Seperti halnya Hardjomo di dalam film Djejak Darah Surat Teruntuk Adinda. Berikut ini petikan resensi oleh Monika Pretty dan Windu Yusuf
Kesenian tidak seharusnya meninabobokan penontonnya. Ia meyakini bahwa bermain kethoprak haruslah dengan visi dan dari sanggar milik Pak Gito itulah Hardjono belajar tentang visi itu. Sebelumnya di awal surat, ia mengisahkan perburuan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI, dekat dengan PKI atau pernah ikut dalam acara-acara yang diadakan PKI di kampungnya. Sampai di situ, penonton bisa menebak bahwa grup kethoprak yang diikuti Hardjono berafiliasi dengan LEKRA, lembaga kesenian PKI. Di sisi lain, Hardjono diceritakan hanya mau bermain kethoprak saja dan tidak tahu-menahu soal politik.
Penting untuk mengamati karakter Hardjono sebagai subjek sejarah yang disingkirkan. Ia dilekatkan pada stereotip identitas sosial tertentu di masa itu, yang ironisnya baru terungkap bertahun-tahun setelahnya. Hardjono adalah orang desa, pelaku kesenian rakyat, dan tidak tahu apa-apa mengenai peristiwa besar yang menjadikan mereka korban. Tidak dicantumkan dengan jelas di dalam film ini afiliasi sanggar seni Hardjono itu. Alasan Hardjono bergabung dengan sanggar seni Pak Gito yang memiliki visi “kesenian mengabdi pada revolusi” yang disebutkan secara verbal, menjadi flashing arrows yang penting dalam film ini (petunjuk yang diselipkan sebagai bagian yang menyatu dalam narasi:ed)


Djejak Darah Surat Teruntuk Adinda
M. Aprisiyanto
Fiksi/12 menit/Dè jávu production/2004
Tulisan ini merupakan hasil workshop yang diadakan dalam program Mari Menonton oleh Kinoki Yogyakarta bekerjasama dengan Konfiden. Untuk keterangan lebih lanjut silahkan hubungi; marimenonton@yahoo.com dan kunjungi http://marimenonton.blogspot.com

Dengan amat sangat yakin, saya beranggapan bahwa lagu genjer-genjer hanyalah korban. Seperti halnya menanggung akibat dari sebab yang tidak diperbuatnya sendiri. Berbeda dengan bait pelesetan shalawat badar ini:

salat keno, ora yo keno
pokoke mbela Bung Karno
salat keno, ora yo keno
sing penting mbelo Bung Karno.
(Salat boleh, tidak pun tak soal,
yang penting membela Bung Karno.)

Yang jelas-jelas mempunyai makna politis berupa pengkultusan pada Bung Karno dan ejekan untuk kekuatan Islam.

Saya pribadi sebagai orang yang mencoba peduli dengan musik tradisional sedikit kecewa jika Genjer-genjer dengan sengaja dihapuskan. Bagi kami, semua lagu tradisional mempunyai pesan yang sungguh bijak (JIKA DIMAKNAI SECARA OBJEKTIF).

Semoga tulisan ini bisa mengajak 1 orang saja untuk peduli dengan musik tradisi. Peduli bukan berarti ikut terlibat didalamnya, cukup hanya ceritakan saja kepada anak-anak anda suatu saat nanti. Dengan begitu, sebuah tradisi negeri ini tak akan pernah mati.