Selasa, 03 Februari 2009

Genjer-genjer

Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ nong kedok-an pating keleler (Di pematang, berserakan)/ Emak-e tole,teko-teko (Ibunya anak-anak, datang-datang)/ bubuti genjer (Mencabuti genjer)

Oleh sak tenong (Dapat sebakul)/ mungkor sedot (Lalu ngeloyor pergi)/ seng tole-tole (Dapat yang kecil-kecil)

Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ saiki wis digowo muleh (Sekarang sudah dibawa pulang)/ Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ isuk-isuk didol ning pasar (Pagi-pagi dijual di pasar)
Dijejer-jejer, diuntingi,
podo didasar (Dibariskan, diikat dan semua digelar)

Emak-e Jebreng (Ibunya Jebreng)/ podo tuku nggowo
welasan (pada beli membawa belasan ikat)

Genjer-genjer (Genjer-genjer)/ saiki wis arep diolah (sekarang siap diolah)

Dari bait-bait diatas, sepertinya tak ada yang salah dengan diksi-diksinya jika kita memahami dengan objektif. Sebuah lagu yang mulai dikenal di Banyuwangi pada tahun 1960-an ini hanyalah sebuah lagu rakyat seperti halnya Ampar-Ampar pisang, Jali-jali, dll. Pada tahun 1963 lagu ini diaransemen oleh M.Arief, dan Sosok Bing Slamet-lah penyanyi yang memperdengarkan lagu ini kepada masyarakat melalui media elektronik Nasional (RRI dan TVRI). Tahun 1965 lagu ini tidak mendapatkan ijin lagi di perdengarkan kepada khalayak.

Beberapa cerita orang-orang yang saya temui, genjer-genjer adalah simbolisasi para petani dijaman itu. Para petani yang pada saat itu kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah di jaman Soekarno. Partai Komunis Indonesia (PKI) memanfaatkan momentum ini dengan menggalang basis kekuatan dari kalangan petani, dan cara inilah yang menjadikannya sebagai partai berbasis massa terbesar bersanding dengan Masyumi. Bayangkan saja PKI mempunyai 3 juta Anggota dan pendukung aktif sekitar 17 juta!!

Lambang Palu Arit hanyalah sebuah simbol kerakyatan, khususnya para petani. Mengapa saat ini harus menjadi simbolisasi yang cukup menakutkan? Berikut ini saya kutip sebuah paragraph dari cerita Mohammad Sobary yang berjudul Kang Sejo Melihat Tuhan

Namun, segala puji hanya bagi-Mu, darah tak menetes di desa
saya. Pak Lurah, biarpun pernah diancam PKI, melindungi
mereka. Prinsipnya semua saudara. Lagi pula, PKI di desa
saya cuma golongan cepethe. Pak Lurah sering bilang, mereka
cuma ikut-ikutan. Sebagian hanya senang karena tiap rapat
ada makan. Tahu apa mereka tentang politik?
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 6 Oktober 1990

Dari kutipan diatas kita bisa merasakan betapa polosnya para kaum tani. Yang mereka tau hanyalah sebuah harapan besar agar negaranya makmur, tapi mereka tak tau kemana kemakmuran sebuah negara yang tak sampai menyentuh kemakmuran “perut” rakyatnya. Pada saat seperti itu PKI dengan cerdiknya memberikan sesuatu yang kongkrit daripada sebuah harapan. Para petani diperhatikan. Para Pegawai Negeri yang ikut PKI juga mendapatkan gaji lebih besar daripada Pegawai Negeri yang tidak ikut PKI Untuk lebih mendekatkan diri pada rakyat kecil, PKI menelurkan beberapa lembaga seperti LEKRA. Lagu rakyat seperti genjer-genjer juga dikumandangkan untuk memberikan semangat bagi para petani disaat bekerja. Seolah-olah saat itu para petani yang sebelumnya “pating keleler” kini sudah diber-daya-kan lagi, seperti bait-bait “saiki wis digowo muleh”,”saiki wis arep diolah”,”podo didasar”,”saiki wis digowo muleh”,”isuk-isuk didol ning pasar”

Para petani sudah dibawa pulang oleh PKI, dibawa pulang menuju kesejahteraan yang lebih konkrit. Genjer-genjer secara nyata hanyalah salah satu jenis tumbuhan liar yang hidup di rawa-rawa dan sawah basah, tanah lumpur yang berair. Sesuatu yang bersifat liar kadang sangat militan dengan apa yang mereka yakini. Sifat inilah yang dijadikan titik temu antara ideologi PKI dan rakyat kecil (petani). Rawa-rawa, sawah basah dan tanah lumpur yang berair adalah Negeri kita Indonesia yang subur dan makmur. Ada apa dengan kemiskinan di sebuah Negeri yang subur?

Sebuah karya ibarat anak yang telah dilahirkan. Genjer-genjer adalah sebuah karya besar dari bapak yang tak pernah kita kenal. Bukankah pencipta lagu genjer-genjer disaat menciptakan tak pernah peduli dengan diksi-diksi yang berbau politis? Seperti halnya Hardjomo di dalam film Djejak Darah Surat Teruntuk Adinda. Berikut ini petikan resensi oleh Monika Pretty dan Windu Yusuf
Kesenian tidak seharusnya meninabobokan penontonnya. Ia meyakini bahwa bermain kethoprak haruslah dengan visi dan dari sanggar milik Pak Gito itulah Hardjono belajar tentang visi itu. Sebelumnya di awal surat, ia mengisahkan perburuan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI, dekat dengan PKI atau pernah ikut dalam acara-acara yang diadakan PKI di kampungnya. Sampai di situ, penonton bisa menebak bahwa grup kethoprak yang diikuti Hardjono berafiliasi dengan LEKRA, lembaga kesenian PKI. Di sisi lain, Hardjono diceritakan hanya mau bermain kethoprak saja dan tidak tahu-menahu soal politik.
Penting untuk mengamati karakter Hardjono sebagai subjek sejarah yang disingkirkan. Ia dilekatkan pada stereotip identitas sosial tertentu di masa itu, yang ironisnya baru terungkap bertahun-tahun setelahnya. Hardjono adalah orang desa, pelaku kesenian rakyat, dan tidak tahu apa-apa mengenai peristiwa besar yang menjadikan mereka korban. Tidak dicantumkan dengan jelas di dalam film ini afiliasi sanggar seni Hardjono itu. Alasan Hardjono bergabung dengan sanggar seni Pak Gito yang memiliki visi “kesenian mengabdi pada revolusi” yang disebutkan secara verbal, menjadi flashing arrows yang penting dalam film ini (petunjuk yang diselipkan sebagai bagian yang menyatu dalam narasi:ed)


Djejak Darah Surat Teruntuk Adinda
M. Aprisiyanto
Fiksi/12 menit/Dè jávu production/2004
Tulisan ini merupakan hasil workshop yang diadakan dalam program Mari Menonton oleh Kinoki Yogyakarta bekerjasama dengan Konfiden. Untuk keterangan lebih lanjut silahkan hubungi; marimenonton@yahoo.com dan kunjungi http://marimenonton.blogspot.com

Dengan amat sangat yakin, saya beranggapan bahwa lagu genjer-genjer hanyalah korban. Seperti halnya menanggung akibat dari sebab yang tidak diperbuatnya sendiri. Berbeda dengan bait pelesetan shalawat badar ini:

salat keno, ora yo keno
pokoke mbela Bung Karno
salat keno, ora yo keno
sing penting mbelo Bung Karno.
(Salat boleh, tidak pun tak soal,
yang penting membela Bung Karno.)

Yang jelas-jelas mempunyai makna politis berupa pengkultusan pada Bung Karno dan ejekan untuk kekuatan Islam.

Saya pribadi sebagai orang yang mencoba peduli dengan musik tradisional sedikit kecewa jika Genjer-genjer dengan sengaja dihapuskan. Bagi kami, semua lagu tradisional mempunyai pesan yang sungguh bijak (JIKA DIMAKNAI SECARA OBJEKTIF).

Semoga tulisan ini bisa mengajak 1 orang saja untuk peduli dengan musik tradisi. Peduli bukan berarti ikut terlibat didalamnya, cukup hanya ceritakan saja kepada anak-anak anda suatu saat nanti. Dengan begitu, sebuah tradisi negeri ini tak akan pernah mati.

Tidak ada komentar: