Sabtu, 31 Januari 2009

Padas Asmara

Padas Asmara

Terdengar cukup lantang suara Adzan subuh ditelingaku.Matakupun spontan membelalak. Mimpi indah terhenti secara otomatis. Dengan malas kulangkahkan kaki untuk mengambil air wudlu. kurasakan dingin yang menusuk saat air masuk kedalam pori-pori, setiap sendi serasa ngilu, dan setiap hari kualami hal yang sama.

Nama anak itu adalah Padas. "Padas Asmara" lengkapnya, kata orang-orang dikampung. Aku tidak pernah tahu tentang Dia sebelumnya, karena aku hanyalah seorang pendatang disini. Dari sorot matanya aku melihat dendam dan kerinduan yang mendalam. Wajahnya tirus. Sepertinya dia bocah yang tidak mendapatkan porsi seperti bocah-bocah lain yang seumuran dengannya. bicaranyapun gagap, tapi bukan dari lahir kata orang-orang dikampung.

Padas, rindumu menggangguku. Dendam yang kau simpan juga menggangguku. Aku hanyalah pendatang dikampungmu, dan aku tidak punya urusan apa-apa denganmu. Mengapa kehadiranmu selalu menggangguku? aku tahu bahwasanya dirimu tak pernah bermaksud mengusikku, tapi...

Pagi ini aku melihatmu lagi. Disaat sendi-sendiku serasa ngilu, disaat langkahku ingin bersujud, kau sudah ada disana. Pada sudut itu kau duduk sambil meneteskan air mata. Sorot matamu tetap tajam mengamati tiap-tiap orang yang masuk kedalam Masjid, walau air matamu selalu deras membasahi. Ada apa denganku yang terusik karena kehadiranmu? sedangkan orang lain tak pernah peduli dengan kehadiranmu disudut itu.

Baru saja 2 minggu aku ada di kampung ini, baru 1 minggu kau sita waktu subuhku, dan aku sudah tak tahan dengan kehadiranmu yang tidak sengaja mengusikku. Padas! ada apa denganmu?

Padas, bocah miskin yang tinggal hanya dengan neneknya. Ayah ibunya entah kemana. Dikampung ini hanya kau yang diasuh bukan oleh orang tuamu sendiri. Dalam rindumu hanyalah belai lembut nenek. Dalam tangismu hanyalah kidung nenek yang hentikan. Semua orang tak pernah tahu kapan dan dimana kau dilahirkan. Yang mereka tahu hanyalah Seorang nenek miskin melaporkan kepada Pak RT bahwa telah menemukan bayi mungil di pelataran rumahnya. Setiap adzan subuh kau dibangunkan oleh parau suara nenek "ayo bangun nak.. shalat.. shalat.." Setiap malam yang kau dengar hanyalah dendang nenek hingga kau terlelap. Setiap makanan yang masuk kedalam perutmu berasal dari suapan nenek. Setiap subuhmu, hanya tangan kasar nenek yang menggandeng tanganmu saat berjalan untuk bersujud. Setiap nafasmu hanyalah nenek. 7 tahunpun telah berlalu. Aku tak pernah mengerti itu sebelumnya, karena aku hanyalah seorang pendatang.

Mimpi burukmu menjadi sebuah kenyataan pada saat adzan subuh berakhir. Tangan kasar nenek yang menggandengmu saat itu adalah saat terakhir. Saat takbir pada rakaa'at pertama berkumandang, saat itulah mimpi buruk itu menjadi kenyataan. Caci maki telah terdengar diluar masjid. Sepersekian detik kaca-kaca masjid telah pecah oleh lemparan batu. Wajah-wajah panik didalam masjid. Wajah-wajah marah muncul didepan pintu masjid, sambil menggenggam benda-benda tumpul. Kau hanya bisa menangis. Serasa cepat semua berlalu. ketika suasana hening, yang kau dapati hanyalah mayat nenekmu yang sedang bersujud. Nenekmu telah mati disini. Tak ada lagi dendang nenek yang melelapkanmu, tak ada lagi suapan nenek, tak ada lagi suara parau nenek yang membangunkanmu, dan tak ada lagi tangan kasar yang menggandengmu waktu subuh. Kau benar-benar tak siap dengan ini semua. Sejak saat itu kau menjadi gagap. Sorot mata dendammu tumbuh.

Padas, nenekmu hanyalah orang islam yang taat. Nenekmu tidak pernah tau tentang aliran-aliran yang katanya sesat itu. Nenekmu hanya menunaikan kewajibannya di masjid. Masjid yang telah dibangun oleh para pengikut Aliran itu. Nenekmu tetap meyakini Muhammad SAW adalah nabi terakhir. Tidak seperti anggapan pengikut aliran itu.

Beberapa minggu telah berlalu, dan aku merindukan kampung halamanku. Kebetulan Handphone-ku berbunyi, sebuah pesan dengan nama yang muncul adalah "Rumah". Disaat rasa hati telah rindu, saat itu pula ternyata keluarga di kampung halaman memberi kabar. "Segera pulang" hanya itu isi pesan yang masuk.

Sesampai dirumah aku hanya bisa menangis, tiba-tiba lidahku kelu, aku menjadi gagap, dan saat itu pula tumbuh dendam dalam hatiku. Aku teringat Padas. Ternyata inilah yang kau rasakan. Setiap ku dengar adzan subuh, saat itu pulalah dendam dan rinduku mencapai puncaknya. Aku hanya bisa duduk disudut beranda masjid, mencoba mengenali satu-persatu wajah orang yang masuk masjid, dan berharap untuk bertemu dengan ibuku yang telah mati disini.

Tidak ada komentar: